Sabtu, 05 Desember 2015

Makalah Kelebihan dan Kelemahan Sistem Ekonomi Kapitalisme dan Sistem Ekonomi Sosialisme



BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Setiap manusia pasti menginginkan kesejahteraan dan kebahagiaan dalamhidupnya. Namun untuk mencapai hal itu, diperlukan upaya-upaya yang tidaklahmudah. Dalam kajian ekonomi, para pakar berupaya semaksimal mungkin dalam mengeluarkan pendapat mereka untuk mengeksplorasi sistem ekonomi mana yangdapat dijadikan referensi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sertatercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan yang diinginkan. Setiap sistem yang dibangun manusia pastinya bertujuan membuat penganutsistem yang bersangkutan menjadi lebih baik meskipun tujuan dari setiap sistemitu berbeda-beda. Tidak terkecuali sistem ekonomi, sistem ini dibuat untuk memecahkan masalah ekonomi. Sistem ekonomi yang diakui dunia ada tiga, sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, dan Islam. Sistem-sistem ekonomi tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dankelemahan tersendiri dan dari segi tertentu. Kelebihan dan kelemahan di sinilah yang menarik perhatian tim penulis untuk dijadikan permasalahan dalam makalah ini. Dalam makalah ini, penulis lebih fokus menjelaskan kelebihan dan kelemahan dari sistem ekonomi Kapitalis dan sitem ekonomi Sosialis, ada sedikti definisi dan perbandingannya yang terdapat dalam pembahasan mengenai kelebihan dan kelemahan dari kedua sistem ekonomi ini.
1.2         Rumusan Masalah
1.      Apa kelebihan dan kelemahan Sistem Kapitalis ?
2.      Apa kelebihan dan kelemahan Sistem Sosialis ?
1.3         Tujuan
1.      Mengetahui kelebihan dan kelemahan Sistem Kapitalis.
2.      Mengetahui kelebihan dan kelemahan Sistem Sosialisme.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Kelebihan dan Kelemahan Sistem Ekonomi Kapitalisme
Sistem ekonomi kapitalisme atau disebut juga ekonomi liberal pada dasarnya merupakan merupakan sistem ekonomi memprioritaskan kepentingan individu. Sistem ekonomi yang dipelopori Adam Smith ini mengandalkan mekanisme pasar sebagai instrumen yang paling tepat. Kepemilikan dalam sistem ini tentunya adalah kepemilikan swasta. Adapun kelebihan dan kelemahan yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1.    Kelebihan Sistem Ekonomi Kapitalisme
Sistem ekonomi kapitalisme menjajikan kebebasan ekonomi individual bagi kaum kapitalis. Tingkat kebebasan pada sistem ekonomi ini jauh lebih leluasa dibandingkan dengan sistem ekonomi sosialisme. Pemahaman ini di inspirasi dari pemikiran Adam Smith yang mengutamakan kepentingan akan diri sendiri dapat membuat pasar terselenggara dengan baik dan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Adapun kebebasan ekonomi yang dijanjikan kaum kapitalis adalah sebagai berikut:
a.    Kebebasan Dalam Kepemilikan dan Pendapatan
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, masyarakat dijamin dapat mendapatkan dan memiliki barang yang diinginkan sesuai tingkat kepuasannya, dengan kata lain sebanyak yang mereka inginkan. Tidak ada batasan kepemilikan dan pendapatan, karena sistem ekonomi ini tidak menginginkan interferensi pemerintah dalam mengatur apa yang menjadi milik individu dan berapa besar batasannya.
b.    Kebebasan Dalam Penentuan Harga dalam Mekanisme Pasar
Sistem ekonomi kapitalisme juga membolehkan penentuan harga pasar oleh individu itu sendiri, bahkan melebihi harga pasaran. Hal ini dikarenakan salah satu motif dari sistem ini adalah keuntungan yang sebesar-besarnya, tidak peduli apakah harga yang ditentukan tersebut dapat memeras kepentinganorang lain. Selain itu, kebebasan ini juga disebabkan sistem ini menyerahkan mekanisme pasar dalam mengontrol pertumbuhan ekonomi sehingga tidak menginginkan interferensi pemerintah dalam menentukan harga pasar suatu barang.

2.  Kelemahan Sistem Ekonomi Kapitalisme
a.  Terjadi Kesenjangan Distribusi dan Alokasi Sumber Daya
Sistem ekonomi kapitalis memang memberikan kebebasan bagi setiap individu mengelola dan menyalurkan sumber daya dalam memenuhi kebutuhan mereka masing masing. Akibat distribusi dan alokasi sumber daya tersebut secara liberal, maka orang-orang di sekitar individu tersebut akan merasa kekurangan dan kehilangan haknya dalam menikmati sumber daya tersebut.
b.  Norma dan Etika Persaingan Terabaikan
Mengingat motif dan tujuan sistem ekonomi kapitalis adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, pelaku ekonomi ini bisa saja mengabaikan norma dan etika yang berlaku. Hal ini sering terjadi pada pasar dalam bentuk persaingan bebas, mereka menghalalkan segala cara demi keuntungan maksimal yang diperoleh, termasuk menjatuhkan pesaingnya atau dengan menimbun barang agar dapat menetapkan harga setinggi mungkin. P3EI menegaskan dalam bukunya “Ekonomi Islam” mengenai pasar persaingan bebas bahwa: “Islam menolak konsep pasar dalam bentuk persaingan bebas tanpa batas sehingga mengabaikan norma dan etika. Pasar seperti ini tidak mampu merealisasikan tujuan mencapai falah, bahkan mungkin akan mendistorsinya.” Masalah ini sebenarnya dapat diatasi dengan pengendalian tertentu berupa sosialisasi dan implementasi etika bisnis serta kontrol harga seperti pada sistem ekonomi sosialisme dan Islam atau juga kesadaran pada diri sendiri. Mengingat bahwa kurangya kesadaran akan pentingnya akhlak dan moral yang baik bagi pelaku ekonominya. Oleh karena itulah pada persaingan tidak sehat ini, seringkali hal-hal yang negatif seperti pertikaian dan persengketaan terjadi dalam dunia usaha dan perlu upaya antisipasi.
c.    Minimnya Nilai Sosial
Sistem Kapitalisme juga berdampak negatif pada kehidupan sosial dikarenakan kepentingan individu yang berlebihan. Para pelaku kapitalis mengabaikan dampak apa yang akan terjadi pada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Bahkan mereka ingin menjadikan orang lain atau lingkungan sekitarnya sebagai tumbal dalam mendapatkan keuntungan pribadi.
d.   Terhalangnya Peran Pemerintah
Bagi pemerintah sistem ekonomi kapitalisme merupakan hambatan dalam memutuskan kebijakan fiskal. Hal ini dikarenakan sistem ekonomi ini menyerahkan seluruhnya pada mekanisme pasar. Dengan kata lain, peran pemerintah di sini tidak diperlukan bila dibandingkan dengan sosialisme dan Islam. Berdasarkan beberapa kelemahan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa kelemahan atau dampak negatif dari sistem ekonomi kapitalisme ialah orang lain merasa dirugikan, terutama yang berada di sekitar pelaku kapitalis. Dengan mementingkan diri sendiri, kepentingan sosial terabaikan dan menimbulkan kesenjangan sosial. Masalah ini sebenarnya dapat diatasi dengan dilakukannya pembatasan-pembatasan tertentu pada kegiatan ekonomi, seperti yang diterapkan pada sistem ekonomi sosialisme dan Islam.
2.2     Kelebihan dan Kelemahan Sistem Ekonomi Sosialisme
Sistem ekonomi sosialisme pada dasarnya merupakan sistem yang lebih kepada kepentingan orang lain atau bersama. Menurut Winarno dan Ismaya (2003), sosialisme adalah “Paham kenegaraan dan ekonomi untuk mengupayakan harta benda, industri, dan perusahaan menjadi milik negara.” (h. 391). Sistem ekonomi yang juga disebut dengan sistem ekonomi komando atau terpusat ini mengandalkan pemerintah sebagai instrumen utama dalam pembangunan ekonomi. Terutama dalam membuat kebijakan-kebijakan ekonomi seperti di antaranya mengatur harga pasar dan pajak. Sistem ekonomi yang dipelopori Karl Marx ini mempunyai keleibihan dan kelemahan yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1.  Kelebihan Sistem Ekonomi Sosialisme
a.  Distribusi Secara Adil dan Merata
Sistem ekonomi sosialisme menjanjikan kesejahteraan bagi semua orang, hak seseorang untuk menikmati kekayaan dari orang lain akan terpenuhi. Pemerintah dapat membagi-bagi penghasilan atau kepemilikan dari seseorang ke orang lain seperti melalui pajak demi kepentingan bersama. Kesenjangan yang disebabkan oleh sistem kapitalisme dapat diatasi dengan menerapkan sistem ekonomi ini.
b.  Terkendalinya Harga Pasar
Sistem ekonomi sosialisme ini juga menjanjikan bagi konsumen karena pemerintah membatasi harga pasar. Tidak seperti kapitalisme, biasanya batasan harga pasar yang ditentukan adalah harga yang terjangkau dan produsen tidak berhak menentukan harga yang lebih mahal dari itu.



2.  Kelemahan Sistem Ekonomi Sosialisme
a.  Terbatasnya Kebebasan Individu
Kebebasan individu dibatasi oleh pemerintah, baik dalam kepemilikanmaupun pendapatan. Karena setiap apa yang mereka miliki dan peroleh harus dibagikan secara merata kepada pihak lain yang membutuhkan. Tidak mengherankan bahwa sistem ini merupakan mimpi buruk bagi penganut kapitalis. Pembatasan pada sistem sosialisme berbeda dengan yang ada padasistem ekonomi Islam. Syed Nawab Haider Naqwi menjelaskan strategi pembatasan pada sistem ekonomi Islam mengenai kebebasan individu yaitu: “Bentuk terbaik “kebebasan‟ individu adalah bentuk yang tidak  bertentagan dengan tuntutan kesejahteraan orang miskin dalam masyarakat yang didasarkan pada aksima tanggung-jawab. Karena alasan ini, ketika Islam meminta warganya untuk berkorban, mereka akan memberikannya atas dasar perintah moral dan melakukannya secara suka rela”
     Berdasarkan kutipan di atas, Islam membolehkan kebebasan individu dalam kepemilikan dan berusaha selama kebebasan tersebut tidak merugikan orang lain atau tidak bertentangan dengan tuntutan hak orang miskin dalam menikmati kekayaan.
b.  Tindakan Pemerintah yang Egois
Pemerintah terkadang mengeluarkan kebijakan-kebijakan fiskal atas inisiatif pemerintah sendiri. Hal ini dikarenakan pemerintah merupakan instrumen utama dalam roda perekonomian negara sekaligus mengatur kebijakan melalui perencanaan terpusat, sehingga tidak menutup kemungkinan peranan pemerintah dalam sistem sosialisme tidak pada jalan yang seharusnya. Alasan lain dari kemungkinan penyimpangan ini adalah pandangan sistem ekonomi sosialismenya cenderung sekularisme, artinya agama tidak boleh melakukan interferensi dalam hal ini. Dengan kata lain pemerintah terkadang cenderung kapitalistik dalam sistem. Umer Chapra dalam buku terjemahannya berjudul Islam dan Tantangan Ekonomi telah menegaskan mengenai peranan pemerintah atau perencanaanterpusat bahwa: Perencanaan pusat dan kolektivisasi tidak berhasil mendorong pemerataan, bahkan menyebabkan konsenstrasi kekuatan pada segelintir anggota politbiro. Ini bahkan lebih buruk daripada kapitalis memonopolistik, karena meskipun mengakibatkan konsentrasi kekuasaan dan kekayaan, tidak akan memungkinkannya mengumpulkan kekuatan yang begitu intens, karena adanya proses pembuatan keputusan yang disentralisasi secara umum. Lebih-lebih lagi, sistem sosialis yang berpandangan amoral dan sekuler itu telah menjauhkan dirinya dari sistem nilai yang secara sosial disepakati.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dipastikan sistem ekonomi sosialis belum mampu mensejahterakan rakyat meskipun ada peranan pemerintah. Pemerataan dalam masih belum mencapai hasil yang diharapkan sementara kebebasan individu terisolasi oleh kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah yang mementingkan diri sendiri atau lembaganya (desentralisasiumum).
c.  Hilangnya Etos Kerja
Penerapan sistem ekonomi sosialisme yang radikal akan berdampak pada etos kerja individu. Hal ini biasanya terjadi dalam dunia bisnis. Batasan-batasan yang ditetapkan pemerintah seperti harga barang, jumlah kekayaan serta keuntungan yang diperoleh ditambah lagi pemerintah tidak mau peduliakan kualitas barang serta jerih payah pengusaha dalam mendapatkan modal usahanya.Akibat dari campur tangan pemerintah tersebut, kebebasan individu terkekang, otomatis etos kerja akan berkurang terus-menerus, serta tingkat kepuasan juga akan berkurang. Pada dasarnya etos kerja bermotifkan keuntungan maksimal yang ingin diperoleh seseorang dalam menjalankan usahanya. Jadi wajarlah bahwa sistem ekonomi ini berpengaruh negatif terhadap etos kerja seseorang.


BAB III
KESIMPULAN

Jadi, Sistem ekonomi kapitalisme atau disebut juga ekonomi liberal pada dasarnya merupakan merupakan sistem ekonomi memprioritaskan kepentingan individu. Kelebihan yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi kapitalisme menjajikan kebebasan ekonomi individual bagi kaum kapitalis. Kebebasan ekonomi yang dijanjikan kaum kapitalis adalah Kebebasan Dalam Kepemilikan dan Pendapatan dan Kebebasan Dalam Penentuan Harga dalam Mekanisme Pasar. Sedangkan kelemahan Sistem Kapitalis adalah terjadi kesenjangan distribusi dan alokasi sumber daya, norma dan etika persaingan terabaikan, minimnya nilai sosial, dan terhalangnya peran pemerintah bagi pemerintah
Sedangkan Sistem ekonomi sosialisme pada dasarnya merupakan sistem yang lebih kepada kepentingan orang lain atau bersama. Kelebihan sitem ini adalah distribusi secara adil dan merata, dan terkendalinya harga pasar. Dan kelemahan dari sistem ini adalah terbatasnya kebebasan individu, tindakan pemerintah yang egois, dan hilangnya etos kerja.

Makalah Ar-Rahn



BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum Pegadaian, dengan motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Hal yang wajar bila masyarakat dalam mencukupi kebutuhannya melakukan pinjam meminjam dengan seseorang atau lembaga. Tapi meminjam untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan minum dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam. Islam menganjurkan muamalah dalam hal ekonomi harus secara adil dan mendukung kesejahteraan umat Islam, misalnya pinjaman uang untuk modal usaha, dengan dasar bahwa uang yang di miliki oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang lebih. Islam juga melarang praktik ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan para pihak misalnya memberikan pinjaman uang tetapi ingin menjerat peminjam dengan bunga yang tinggi. Karena itu umat Islam sebagai mayoritas penduduk di Indonesia merupakan obyek para pemilik modal untuk terjerat dalam lilitan hutang.
Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin karena kelemahan orang menjadi lahan yang enak bagi para pemilik modal. Karena itulah pemerintah mendirikan lembaga formal tentang pegadaian. Lembaga formal tersebut dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Lembaga nonbank inilah pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum (perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan pinjaman yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana.
Perum Pegadaian memiliki dua unit usaha yaitu unit usaha gadai konvensional dan unit usaha gadai syariah. Perusahaan umum pegadaian syariah adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono, 2004:156).Undang-undang ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Kegiatan gadai yang di praktikkan oleh Pegadaian Syariah di sebut Ar-Rahn yang merupakan suatu gejala ekonomi yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan mengeluarkan fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan juga fatwa Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn Emas.
Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, maka ia meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu cepat, praktis dan menentramkan, produk yang dimaksud di atas adalah produk Ar-Rahn.
Kegiatan ar-Rahn yang baru ini membentuk sistem hukum baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem hukum di Indonesia. Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam yang di tulis dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer yang kemudian di implementasikan oleh masyarakat Indonesia.Implementasinya memunculkan masalah baru di dalam hukum positip yaitu adanya dualisme sistem yaitu pegadaian konvensional yang aturannya mengacu pada hukum positip murni dan pegadaian syariah yang mengacu pada hukum Islam.
Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar hukum yang kuat bila dilihat dari sisi hukum positif, karena belum adanya UU yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila ada perbuatan hukum yang bermasalah dan pasti akan ditanyakan bagaimana hukumnya?
Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah selalu bertanya apa dan bagaimana pegadaian syariah serta bagaimana operasionalnya? Tapi mereka juga ada kecurigaan tentang produk-produk yang di keluarkan oleh pegadaian syariah, apakah praktiknya benar-benar syariah? Misalnya mempertanyakan juga apa bedanya pegadaian syariah dengan konvensional?
Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pegadaian syariah. Akibat yang di timbulkan adalah mereka kurang menyukai pegadaian syariah. Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal kemudahan dan kecepatan prosedur.Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang yang cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis, sehingga sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah (bagi hasil) Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di samping alasan rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar, sistem pembiayaan ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan makalah ini akan kami bahas mengenai tentang rahn.
1.2         Rumusan Masalah
1.2.1   Apa pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah Rahn ?
1.2.2   Bagaimana dasar hukum Rahn ?
1.2.3   Apa saja rukun dan syarat Rahn ?
1.2.4   Apa manfaat dari barang gadai ?
1.2.5   Bagaimana tahap-tahap implementasi akad ar-rahn ?
1.2.6   Apa perbedaan teknis pelaksanaan antara gadai konvensional dan gadai syariah Rahn ?
1.3         Tujuan
1.3.1   Mahasisiswa mampu menjelaskan mengenai pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah Rahn.
1.3.2   Mahasiswa mampu mengetahui apa yang menjadi dasar hukum Rahn.
1.3.3   Mahasiswa mampu mengetahui apa saja yang menjadi rukun dan syarat Rahn.
1.3.4   Mahasiswa mampu memahami manfaat dari barang gadai.
1.3.5   Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana tahap-tahap implementasi akad ar-Rahn.
1.3.6   Mahasiswa mampu membedakan teknis pelaksanaan antara gadai kovensional dengan gadai syariah.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah Rahn
A.       Pengertian Gadai Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah suatu  hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Mengutip pendapat Susilo (1999), pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi utangnya pada saat jatuh tempo. Sedangkan pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
B.       Pengertian Gadai Syariah Rahn
Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang berarti tetap dan ad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn dalam istilah positif Indonesia disebut dengan barang jaminan, dan dalam islam rahn merupakan sarana saling tolong menolong bagi ummat islam  Pengertian secara bahasa tentangrahn ini juga terdapat dalam firman Allah SWT :
كَلًّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةً
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS.Al-Muddatstsr : 38)
Adapun pengertian gadai atau ar-Rahn dalam ilmu fiqih adalah : Menyimpan sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh berpiutang (yang meminjamkan). Berarti, barang yang dititipkan pada si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Ar-Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat.Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”.Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”.
Rahn di tangan murtahin (pemberi utang kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab itu, hak kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi utangnya (Sjahdeini, 1999: 76).
Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung” dan “menahan”.  Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pendangan syara’ sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagaian  utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50).
Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu (Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, 2001: 73).
Menurut ta’rif yang lain dalam bukunya Muhammad Syafi’i Antonio (1999: 213) dikemukakan sebagai berikut: “menahan salah satu harta milik    si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria Al-Anshori (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 60) dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut:  “Menjadikan barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak dibayar”.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.”
Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.
Gadai untuk menanggung semua hutang. Kalau orang yang berhutang mengembalikan sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil barang yang digadaikan sebelum melunasi semua hutangnya. Boleh menggadaian barang milik serikat untuk tanggungan hutang seseorang asal mendapat izin dari serikat.Juga boleh menggadaikan barang pinjaman, sebab barang itu sudah menjadi hak sementara (Rifa’i. 1978: 197-198).

2.1    Dasar Hukum Rahn
Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an : 283 yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama
.Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rudy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan Al-Qur’an  dan sunnah Rasulullah SAW dalam Al-Quran Al-Kariem disebutkan:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
              Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim). Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).
Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini, asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan.di masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasululah SAW ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan.Artinya, Rasullulah mengizinkan kita boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan.Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
 Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
 Praktek gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produsen film butuh biaya untuk memproduksi filemnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panenya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
2.3     Rukun dan Syarat Rahn
Ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad rahn tersebut. Menurut jumhur ulama ulama rukun rahn itu ada empat yaitu :
1.    Sigah ( Lafal ijab Kabul), yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2.    Ar-rahin dan al-murtahin (orang yang berakat)
3.    Al-marhun (harta yang dijadikan anggunan)
4.    Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang  dan menerima  barang anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatya akad rahn ini, maka  di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh kridor. Adapaun kedua orang  yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Pemahaman dari pengertian ar-rahn sebagai patokan dalam pengertian gadai syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :
a)    Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat tertentu :
1.    Telah dewasa menurut hukum
2.    Berakal
3.    Mampu atau cakap berbuat hokum
b)   Ada syarat obyek yaitu : barang yang dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat tertentu antara lain:
1.    Benda yang mengandung nilai ekonomis
2.    Dapat di perjual belikan dan tidak melanggar undang-undang.
3.     Barang milik rahin
4.    Benda bergerak
c)    Adanya kata sepakat (sighot) yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan murtahin yang kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
Disamping syarat-syarat diatas ulama fiqih sepakat menyatakan bahwa rahn itu dianggap sempurna apabila barang yang di rahn-kan itu secara hokum sudah ditangan kriditor dan uang yang dibutuhkan telah diterima debitor. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak maka tidak harus benda itu yang diberikan tetapi cukup sertipikat  yang diberikan.
Syarat-syarat kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai al-qabd al-marhun (barang jaminan dikuasai oleh debitor. Syarat ini menjadi penting karena Allah SWT dalam surah al-bakharah (2) ayat 283 menyatakan : ‘ fa-rihan maqbudah’ ( barang jaminan itu dipegang oleh kreditor, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak.
2.4    Manfaat Barang Gadai.
Agar lebih jelasnya perbedaan pendapat para ulama mengenai pemanfaatan barang gadai akan dipaparkan sebagai berikut :
1.    Pendapat Imam Syafii.
Dalam kitab al-Um’nya Imam Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang jaminan sebagai berikut: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai.”.
Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama Safiiyah bahwa orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai, Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad, tetapi jika mengambil manfaatnya itu diizinkan oleh orang yang menggadai maka itu diperbolehkan.
Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini pada hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan resikonya (kerusakan dan biaya)”. Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis di atas yakni bahwa yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah pemiliknya dan bukan orang yang menerima gadai.
Dari penjelasan dan dasar syar’i yang digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah di atas dapat diartikan bahwa manfaat barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan orang yang menerima barang gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi barang jaminan sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada si pegadai dan dapat memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.
2.    Pendapat Imam Malik (Malikiyah).
Ulama Malikiyah dalam hal pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang menggadaikan, dan hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai tidak mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan beberapa syarat:
a.    Utang terjadi karena jual beli dan bukan karena menguntung-kan.
b.    Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya.
c.    Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan waktunya harus ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah (Sayyid Sabiq, hal. 188).
Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya (menggadainya).Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya pemanfaatan barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam Syafii atau ulama Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai (orang yang mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan olehBukhari dari Abu Hurairah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang dan kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).
3.    Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah).
Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan pada jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut hewan atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak.Jika barang yang digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang gadai.Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang.(Sayyid Sabiq, hal. 189).
Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan refrensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan.  Fara ulama fiqhi sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu debitor hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan”….. pemilik gadai berhak atas segala hasil barang gadai dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang gadai tersebut. ( HR. Asy-syafi’i dan ad-Daruqutni).
Ulama fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak boleh di biarkan begitu saja, tampa menghasilkan sama sekali, karena tindakan tersebut termaksuk tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW  (HR. at tirmizi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Jumhur ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu dikarenakan  Rasulullah  SAW Bersabda yang artinya : barang jaminan tidak boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan tanggung jawabnya” ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari Abu Hurairah)
Akan tetapi apa bila pemilik barang mengizinkan pemengan barang gadai memanfaatkannya maka barang tersebut selama ditangannya dia bisa memanfaatkannya, maka sebahagian ulama membolehkannya, karena dengan adanya izin maka tidak ada halangan bagi pemegang gadai tersebut.
2.5         Tahap-Tahap Implementasi Akad Ar-Rahn
Adapun untuk mendapatkan pinjaman dengan skim ar-Rahn ini ada beberapa tahapan yang di lalui :
A.   Tahap Pengajuan
Pada tahap ini seorang nasabah apabila ingin mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah ia harus datang dengan memenuhi beberapa persyaratan:
1.    Menyerahkan copy KTP atau identitas resmi lainnya.
2.    Menyerahkan barang sebagai jaminan yang berharga misalnya berupa emas, berlian, elektronik, dan kendaraan bermotor.
3.    Untuk kendaraan bermotor, cukup menyerahkan dokumen kepemilikan berupa BPKB dan copy dari STNK sebagai pelengkap jaminan.
4.    Mengisi formulir permintaan pinjaman.
5.    Menandatangani akad.
Setelah syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah membawa barang jaminan disertai photo copy identitas ke loket penaksiran barang jaminan. Barang akan ditaksir oleh penaksir, kemudian akan memperoleh pinjaman uang maksimal 90% dari nilai taksiran.
Tahap berikutnya adalah tahap perjanjian yang dilakukan sebagai berikut:
B.  Tahap Akad Rahn
Pada tahap Akad Rahn, pihak rahin harus datang sendiri dan melakukan negosiasi terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah.Bila pihak rahin tidak sepakat, boleh membatalkan untuk tidak jadi meminjam uang di Pegadaian Syariah.Namun bila telah sepakat atas perjanjian yang ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut.Adapun akad yang di gunakan dalam perjanjian ar-Rahn ini adalah akad ijaroh atau Fee Based marhun yang bisa di sebut ijarah yakni rahin dimintai imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun dalam hal penyimpanan barang yang di gadaikan. Apa yang diperjanjikan?
Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian ar-Rahn adalah :

a.    Judul perjanjian yaitu akad rahn.
b.    Hari dan tanggal serta tahun akad
c.    Kedudukan para pihak yaitu :
1.    Kantor cabang pegadaian syariah yang diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih, dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS. Di sebut sebagai pihak pertama.
2.    Rahin atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini.
d.    Hal-hal yang diperjanjikan dalam ar-Rahn antara lain :
1.    Rahn dengan ini mengakui telah menerima pinjaman dari murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu pinjaman sebagaimana tercantum dalam surat buku rahn.
2.    Murtahin dengan ini mengakui telah menerima barang milik rahn yang digadaikan kepada murtahin, dan karenanya murtahin berkewajiban mengembalikannya pada saat rahin telah melunasi pinjaman dan kewajiban-kewajibannya lainnya.
3.    Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.    Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan rahin tidak melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad, maka rahin dengan ini menyetujui dan atau memberikan kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali untuk melakukan penjualan atau lelang marhun yang berada dalam kekuasaan murtahin guna pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut. Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban rahin, maka rahin wajib membayar sisa kewajibannya kepada murtahin sejumlah kekurangannya.
5.    Bilamana terdapat kelebihan hasil penjualan marhun, maka rahin berhak menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka satu tahun sejak dilaksanakan penjualan marhun, rahin tidak mengambil kelebihan tersebut, maka dengan ini rahin menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai shodaqah yang pelaksanaannya diserahkan kepada murtahin.
6.    Apabila marhun tersebut tidak laku dijual, maka rahin menyetujui pembelian marhun tersebut oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran marhun.
7.    segala sengketa yang timbul yang ada hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah bersifat final dan mengikat.
e.    Membubuhkan tandatangan menunjukkan persetujuan akad rahn.
Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang tujuannya adalah untuk memperjanjikan biaya-biaya yang berkaitan dengan rahn. Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn isinya adalah sebagai berikut :
a.    Berisi judul akad yaitu akad ijarah
b.    Hari dan tanggal serta tahun akad
c.    Keterangan tentang kedudukan para pihak :
1.    Kantor Cabang Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut dalam surat bukti rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS untuk selanjutnya disebut sebagai Mu’ajjir.
2.    Musta’jir adalah orang yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini.
d.    Pengakuan adanya akad rahn sebelumnya yang isinya :
1.    Bahwa musta’jir sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan muajjir sebagaimana tercantum dalam akad rahn yang juga tercantum di dalam surat bukti rahn ini, dimana musta’jir bertindak sebagai rahin dan muajjir bertindak sebagai murtahin dan oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan akad ini.
2.    Bahwa atas marhun berdasarkan akad diatas musta’jir setuju dikenakan ijarah.
e.    Kesepakatan tentang akad ijarah, yang isinya adalah :
1.    Para pihak sepakat dengan tarif ijarah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk jangka waktu per-sepuluh hari kalender dengan ketentuan penggunaan ma’jur selama satu hari tetap dikenakan ijarah sebesar ijarah per-sepuluh hari.
2.    Jumlah keseluruhan ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus oleh musta’jir kepada mu’ajjir diakhir jangka waktu akad rahn atau bersamaan dengan dilunasinya pinjaman.
3.    Apabila dalam penyimpanan marhun terjadi hal-hal di luar kemampuan musta’jir sehingga menyebabkan marhun hilang/rusak tak dapat dipakai maka akan diberikan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku di PERUM Pegadaian. Atas pembayaran ganti rugi ini musta’jir setuju dikenakan potongan sebesar marhun bih + ijarah sampai dengan tanggal ganti rugi, sedangkan perhitungan ijarah dihitung sampai dengan tanggal penebusan / ganti rugi.

Simulasi perhitungan ar-Rahn berdasarkan akad ujroh (fee based marhun) :
Biaya yang di perhitungkan dalam membayar upah meliputi sewa pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi marhun. Maka perhitungan yang di lakukan adalah:
Ijarah =  Taksiran barang x Tarif (Rp) x Jangka waktu
                   10.000,-                                       Hari
Misalnya : nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25 gram dengan kadar 99,99% asumsi harta per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
·       Taksiran                      =  25 gr. x Rp 300.000,-    = Rp 7.500.000,-
·       Uang Pinjaman            =  90%   x Rp 7.500.000,- = Rp 6.750.000,-
·       Ijaroh /10 hari  = 7.500.000,- x 80 x 10 = Rp 60.000,-
                                   Rp10.000,-           10
·       Biaya Administrasi = Rp 25.000,-
Jika nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh adalah Rp. 180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat nasabah melunasi atau memperpanjang dengan akad baru.
C.  Tahap Realisasi Perjanjian
Pada tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah di tandatangani oleh kedua belah pihak dilanjutkan dengan realisasi penyerahan pinjaman kepada rahin.
D.  Tahap Akhir Gadai
Pada tahap akhir gadai, yang di lakukan adalah sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian Syariah ) memberikan informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir. Setelah di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan biaya-biaya penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses pelunasan bisa dilakukan kapan saja sebelum jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus ataupun di angsur. Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar uang pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang di lelang oleh Pegadaian Syariah untuk membayar, sedangkan bila ada sisanya uang akan di kembalikan kepada rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya maka pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi pada kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan dari uang pinjamannya.
E.   Realisasi Pelelangan Barang Gadai
Pelelangan barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak mampu membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang harus di tanggungnya.Karena itu pihak murtahin diperbolehkan untuk menjual atau melelang barang yang telah di gadaikan kepada murtahin. Adapun meknisme penjualannya adalah sebagai berikut:
a.    Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk menjualkan barang yang digadaikan;
b.    Pihak murtahin akan menginformasikan secara umum melalui pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada tanggal tertentu.
c.    Pihak murtahin melaksanakan lelang yang sesuai dengan prosedur.
2.6         Perbedaan Teknis Pelaksanaan Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
A.  Mekanisme Pegadaian Konvensional
Dalam pegadaian, obyek yang digadaikan biasanya terdiri dari emas dan perhiasan lainnya.Meskipun perhiasan berlian kurang diminati oleh pegadaian, karena beberapa factor dalam prakteknya yaitu adanya penipuan.Jadi yang lebih diminati adalah emas, karena lebih mudah ditandai keasliannya.Selain perhiasan, diterima pula kendaraan seperti mobil, motor dll, meskipun tetap yang lebih disukai adalah emas.
Cara kerja pegadaian yang konvensional ini adalah dengan cara: orang yang perlu uang datang ke tempat pegadaian, mereka akan menyerahkan barang yang akan digadaikan, barang yang akan digadaikan ini akan ditaksir oleh petugas, dan nilai taksirannya akan diberikan dalam bentuk uang. Sehingga orang yang memerlukan uang itu akan menerima sejumlah uang, sesuai nilai taksir barang yang digadaikannya. Mereka biasanya menggadaikan barangnya selama 4, 6 bulan, sesuai yang disepakati, tapi biasanya tidak lebih dari 1 tahun. Jadi biasanya kegunaannya ini agak berbeda dari bank yang bisa 2 atau 3 tahun, ini untuk kegunaan yang mendesak.”, Layaknya pada lembaga keuangan lainnya, pegadaian pun mengenakan bunga untuk jasa yang dilakukannya.
Dari jumlah uang yang diberikan tersebut, maka pegadaian akan mengenakan jasa uang, atau yang di perbankan disebut bunga. Sehingga orang yang menggadaikan tadi akan membayarkan bunga, dan pada saat jatuh temponya mereka akan membayar kembali barang tersebut, sehingga mereka memperoleh kembali barangnya. Secara ringkas itu adalah cara kerja pegadaian yang konvensional.
B.  Mekanisme Pegadaian Syari’ah
Sedangkan pada pegadaian syariah, proses pinjam-meminjamnya masih sama dengan pegadaian konvensional. Secara umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam.Hanya saja, bunga yang dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah.
Sedangkan pegadaian syariah mempunyai mekanisme yang sedikit berbeda. Yaitu yang pertama, apabila ada orang yang membutuhkan uang dan mereka datang ke pegadaian syariah, maka secara teknis akan dilakukan penaksiran terhadap barang yang akan digadaikan. Kemudian setelah dilakukan penaksiran terhadap barang yang digadaikan, orang tersebut akan mendapatkan sejumlah dana sesuai nilai taksiran tersbut. Sampai sini masih sama dengan pegadaian konvensional, di mana terjadi proses pinjam-meminjam uang. Bedanya di pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut jasa uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa uang.Lalu dari mana pegadaian syariah mendapatkan keuntungan jika mereka tidak bisa mengenakan bunga atau yang tadi kita sebut sebagai jasa uang?Barang yang digadaikan tersebut, harus dtitipkan.Tempat penitipan inilah yang dibayar jasanya. Jadi ada jasa penitipan barang..Jasa pentipan ini tidak serta merta dikalikan dari persentase tertentu, tapi dia dikaitkan dengan suatu rate tertentu.Misalnya kalau barangnya sekian gram sampai sekian gram, biaya penitipannya sekian.Sehinga yang terjadi di pegadaian syariah ini, nasabah dikenakan charge berupa biaya tempat pentipian.Jadi mereka membayar biaya sewa penitipan.
Selain dari biaya sewa penitipan yang menggantikan bunga, dalam pegadaian syariah peminjam cuma bisa menggadaikan barang dalam bentuk emas, dan belum bisa dalam bentuk barang yang lainnya seperti pada pegadaian konvensional.
Di dalam pegadaian syariah juga, perbedaan berikutnya, yang dilakukan sejauh ini hanya gadai emas saja.Sedangkan gadai perhiasan di luar emas, yang dinilai emasnya saja.Begitu juga gadai mobil, motor, belum dilakukan di pegadaian syariah.Sehingga dalam pegadaian syariah ini masih terbatas dalam emas saja dan dikenakan biaya penyewaan tempat penitipan.Sama dengan konvensional, di pegadaian syariah pun jangka waktunya tidak panjang.Hanya sekitar 4, 6, 8 atau 12 bulan saja.Tidak melebihi dari itu, karena pegadaian ini harus kita gunakan secara hati hati untuk keperluan yang betul-betul mendesak dan penting saja. Untuk kebutuhan lain, pegadaian bukanlah tempat yang cocok untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya lebih jangka panjang dan nilainya lebih besar.


PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Pada keterangan diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pegadaian konvensional dengan pegadaian syari’ah yakni secara umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah.
Sedangkan pegadaian syariah mempunyai mekanisme yang sedikit berbeda. Yaitu yang pertama, apabila ada orang yang membutuhkan uang dan mereka datang ke pegadaian syariah, maka secara teknis akan dilakukan penaksiran terhadap barang yang akan digadaikan.
Kemudian setelah dilakukan penaksiran terhadap barang yang digadaikan, orang tersebut akan mendapatkan sejumlah dana sesuai nilai taksiran tersbut. Sampai sini masih sama dengan pegadaian konvensional, di mana terjadi proses pinjam-meminjam uang. Bedanya di pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut jasa uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa uang.
Lalu dari mana pegadaian syariah mendapatkan keuntungan jika mereka tidak bisa mengenakan bunga atau yang tadi kita sebut sebagai jasa uang? Barang yang digadaikan tersebut, harus dtitipkan. Tempat penitipan inilah yang dibayar jasanya. Jadi ada jasa penitipan barang. Jasa pentipan ini tidak serta merta dikalikan dari persentase tertentu, tapi dia dikaitkan dengan suatu rate tertentu. Misalnya kalau barangnya sekian gram sampai sekian gram, biaya penitipannya sekian. Sehinga yang terjadi di pegadaian syariah ini, nasabah dikenakan charge berupa biaya tempat pentipian. Jadi mereka membayar biaya sewa penitipan








DAFTAR PUSTAKA
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Ar-Rahn di Indonesia Konsep, Implementasi dan institusionalisasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice, terjemahan oleh M. Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Al-Amaanah al ‘Aamah Lihai’at Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan I.
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi.
Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, al-Ma’arif, Bandung.
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) dalam Islam. Majalah Al Waie 57
Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhamma Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al ‘Arabi, Beirut.
Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia Pustaka,Bandung.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
Ari Agung Nugraha, 2004, Gambaran Umum Kegiatan Usaha Pegadaian Syariahhttp://ulgs.tripod.com.