BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gadai yang kita kenal selama ini di Indonesia identik dengan Perum
Pegadaian, dengan motonya “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah” sebagai
satu-satunya perusahaan yang mengusahakannya. Hal yang wajar bila
masyarakat dalam mencukupi kebutuhannya melakukan pinjam meminjam dengan
seseorang atau lembaga. Tapi meminjam untuk menanggung kebutuhan hidup berupa makan dan
minum dengan pinjaman yang terlalu besar, tidaklah di anjurkan oleh Islam. Islam
menganjurkan muamalah dalam hal ekonomi harus secara adil dan mendukung
kesejahteraan umat Islam, misalnya pinjaman uang untuk modal usaha, dengan dasar bahwa uang
yang di miliki oleh para aghniya supaya mempunyai nilai manfaat yang
lebih. Islam juga melarang praktik ekonomi yang menimbulkan ketidakadilan para
pihak misalnya memberikan pinjaman uang tetapi ingin menjerat peminjam dengan
bunga yang tinggi. Karena itu umat Islam sebagai mayoritas penduduk di Indonesia
merupakan obyek para pemilik modal untuk terjerat dalam lilitan hutang.
Berdasarkan fenomena ini pemerintah merasa prihatin karena kelemahan
orang menjadi lahan yang enak bagi para pemilik modal. Karena itulah pemerintah
mendirikan lembaga formal tentang pegadaian. Lembaga formal tersebut
dibagi menjadi dua yaitu lembaga bank dan lembaga nonbank. Lembaga nonbank
inilah pemerintah telah memfasilitasi masyarakat dengan suatu perusahaan umum
(perum) yang melakukan kegiatan pegadaian yaitu Perum Pegadaian yang menawarkan
pinjaman yang lebih mudah, proses yang jauh lebih singkat dan persyaratan yang
relatif sederhana dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dana.
Perum Pegadaian memiliki dua unit usaha yaitu unit usaha gadai
konvensional dan unit usaha gadai syariah. Perusahaan umum pegadaian syariah
adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin
untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150. Tugas pokoknya adalah
memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai (Heri Sudarsono,
2004:156).Undang-undang ini di atur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 103 Tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Kegiatan gadai yang di praktikkan oleh Pegadaian Syariah di sebut Ar-Rahn yang merupakan suatu gejala ekonomi
yang baru lahir semenjak regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Regulasi ini di respon oleh Dewan Syariah Nasional dengan
mengeluarkan fatwa Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan juga fatwa Nomor
26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn Emas.
Perum Pegadaian melihat masyarakat Indonesia yang sebagian besar
beragama Islam, maka ia meluncurkan sebuah produk gadai yang berbasiskan
prinsip-prinsip syariah sehingga masyarakat mendapat beberapa keuntungan yaitu
cepat, praktis dan menentramkan, produk yang dimaksud di atas adalah produk
Ar-Rahn.
Kegiatan ar-Rahn yang baru ini membentuk sistem hukum
baru di dalam sistem hukum di Indonesia. Kondisi ini didasarkan
pada lahirnya perjanjian-perjanjian yang belum ada dalam sistem hukum di
Indonesia. Sistem ar-rahn berasal dari sistem hukum Islam yang
di tulis dalam kitab-kitab fiqih baik klasik maupun kontemporer yang kemudian
di implementasikan oleh masyarakat Indonesia.Implementasinya memunculkan
masalah baru di dalam hukum positip yaitu adanya dualisme sistem yaitu
pegadaian konvensional yang aturannya mengacu pada hukum positip murni dan
pegadaian syariah yang mengacu pada hukum Islam.
Pegadaian syariah secara yuridis belumlah mempunyai dasar hukum yang
kuat bila dilihat dari sisi hukum positif, karena belum adanya UU yang mengaturnya. Hal ini
menimbulkan ketidakpastian hukum tentang pegadaian syariah, lebih-lebih bila
ada perbuatan hukum yang bermasalah dan pasti akan ditanyakan bagaimana
hukumnya?
Di sisi lain masyarakat yang belum paham tentang syariah selalu
bertanya apa dan bagaimana pegadaian syariah serta bagaimana operasionalnya?
Tapi mereka juga ada kecurigaan tentang produk-produk yang di keluarkan oleh
pegadaian syariah, apakah praktiknya benar-benar syariah? Misalnya
mempertanyakan juga apa bedanya pegadaian syariah dengan konvensional?
Hal diatas menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
pegadaian syariah. Akibat yang di timbulkan adalah mereka kurang menyukai pegadaian
syariah. Kelebihan pegadaian dibanding bank, secara umum, adalah dalam hal
kemudahan dan kecepatan prosedur.Pegadai (nasabah) tinggal membawa barang yang
cukup berharga, kemudian ditaksir nilainya, dan duit pun cair. Praktis,
sehingga sangat menguntungkan buat mereka yang butuh dana cepat.
Sedangkan perbedaan gadai syariah dengan konvensional adalah
dalam hal pengenaan bunga. Pegadaian syariah menerapkan beberapa sistem
pembiayaan, antara lain qardhul hasan (pinjaman kebajikan), dan mudharabah
(bagi hasil) Bukan tanpa alasan mereka tertarik untuk menggarap gadai ini. Di
samping alasan rasional, bahwa gadai ini memilki potensi pasar yang besar,
sistem pembiayaan ini memang memiliki landasan syariah. Apalagi terbukti, di
negara–negara dengan mayoritas penduduk muslim, seperti di Timur Tengah dan
Malaysia, pegadaian syariah telah berkembang pesat sehingga dalam pembahasan
makalah ini akan kami bahas mengenai tentang rahn.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa pengertian Gadai Konvensional
dan Gadai Syariah Rahn ?
1.2.2
Bagaimana dasar hukum Rahn ?
1.2.3
Apa saja rukun dan syarat Rahn ?
1.2.4
Apa manfaat dari barang gadai ?
1.2.5
Bagaimana tahap-tahap implementasi akad ar-rahn ?
1.2.6
Apa perbedaan teknis pelaksanaan antara gadai konvensional dan gadai syariah
Rahn ?
1.3
Tujuan
1.3.1
Mahasisiswa mampu menjelaskan mengenai pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah Rahn.
1.3.2
Mahasiswa mampu mengetahui apa yang menjadi dasar hukum
Rahn.
1.3.3
Mahasiswa mampu mengetahui apa saja yang menjadi rukun dan
syarat Rahn.
1.3.4
Mahasiswa mampu memahami manfaat dari barang gadai.
1.3.5
Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana tahap-tahap
implementasi akad ar-Rahn.
1.3.6
Mahasiswa mampu membedakan teknis pelaksanaan antara gadai kovensional dengan
gadai syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Gadai Konvensional dan Gadai Syariah Rahn
A.
Pengertian Gadai Konvensional
Pegadaian Konvensional (Umum) adalah
suatu hak yang diperbolehkan seseorang yang mempunyai pitutang atas suatu
barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang
berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama
orang yang mempunyai utang, seseorang yang berutang tersebut memberikan
kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang
telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang tidak dapat
melunasi kewajibannya ada saat jatuh tempo.
Mengutip pendapat Susilo (1999),
pengertian pegadaian adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai
piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada
orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain
atas nama orang yang mempunyai utang. Seseorang yang berutang tersebut
memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang
bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila pihak yang berutang
tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gadai
adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu benda
bergerak yang diberikan oleh orang yang berpiutang sebagai suatu jaminan dan
barang tersebut bisa dijual jika orang yang berpiutang tidak mampu melunasi
utangnya pada saat jatuh tempo. Sedangkan
pengertian Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu ban usaha di Indonesia yang
secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa
pembiayaan dalambentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
B.
Pengertian Gadai Syariah Rahn
Secara bahasa, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang
berarti tetap dan ad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak
mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn dalam istilah
positif Indonesia disebut dengan barang jaminan, dan dalam islam rahn merupakan
sarana saling tolong menolong bagi ummat islam Pengertian secara
bahasa tentangrahn ini juga terdapat dalam firman Allah SWT :
كَلًّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
رَهِيْنَةً
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya. (QS.Al-Muddatstsr : 38)
Adapun pengertian gadai atau ar-Rahn dalam ilmu fiqih adalah
: Menyimpan
sementara harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan
oleh berpiutang (yang meminjamkan). Berarti, barang yang dititipkan pada
si piutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.
Ar-Rahn merupakan
perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran
yang diberikan. Ada
beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh. Ulama Mazhab Maliki
mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat.Ulama Mazhab Hanafi
mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan
terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang)
tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”.Sedangkan ulama Mazhab Syafi’i
dan Mazhab Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, yaitu “menjadikan
materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang
apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu”.
Rahn di tangan murtahin (pemberi utang
kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan utang dari rahin (orang yang berutang
debitur). Barang jaminan itu baru dapat dijual/dihargai apabila dalam waktu
yang disetujui oleh kedua belah pihak utang tidak dapat dilunasi oleh debitur. Oleh sebab
itu, hak kreditur terhadap barang jaminan hanya apabila debitur tidak melunasi
utangnya (Sjahdeini, 1999: 76).
Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn,
yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn
menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung” dan “menahan”. Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai
menurut pendangan syara’ sebagai tanggungan utang; dengan adanya tanggungan
utang itu seluruh atau sebagaian utang dapat diterima (Basyir, 1983: 50).
Dalam buku lain juga didefinisikan bahwa
rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat
darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah
sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara
keseluruhan atau sebagian dari barang itu (Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah
Institut Bankir Indonesia, 2001: 73).
Menurut ta’rif yang lain dalam bukunya
Muhammad Syafi’i Antonio (1999: 213) dikemukakan sebagai berikut: “menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimannya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan hutang atau gadai.
Sedangkan menurut Imam Abu Zakaria
Al-Anshori (Syafi’i dalam Chuzaimah, 1997: 60) dalam kitabnya Fathul Wahhab
mendefinisikan rahn sebagai berikut: “Menjadikan
barang yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat
dibayarkan dari harga benda itu bila utang tidak dibayar”.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar
Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar
berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan
menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman
berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.”
Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan
bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang
dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat
digadaikan.Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya.
Dari berbagai definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang-piutang dengan menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil uang.
Gadai untuk menanggung semua hutang. Kalau
orang yang berhutang mengembalikan sebagian hutangnya, ia tidak boleh mengambil
barang yang digadaikan sebelum melunasi semua hutangnya. Boleh menggadaian
barang milik serikat untuk tanggungan hutang seseorang asal mendapat izin dari
serikat.Juga boleh menggadaikan barang pinjaman, sebab barang itu sudah menjadi
hak sementara (Rifa’i. 1978: 197-198).
2.1 Dasar Hukum Rahn
Dasar hukum yang digunakan
para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an : 283 yang
menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai. Dan Hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang
menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi
dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.
Berdasarkan dua landasan
hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang
diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama
.Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rudy bahwa mazhab
Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan
pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada
akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada
shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan
kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain
pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang
berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang
jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di
atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat
digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada
perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan
jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang
digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus
selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda
(barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya
dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang
gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda
pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai,
yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan
dalam islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW dalam
Al-Quran Al-Kariem disebutkan:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ
تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang)..”.(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang
dipegang oleh yang berpiutang. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa
dikenal sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.Selain
itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.Dari Aisyah ra
berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang yahudi dengan cara
menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan Muslim). Apabila ada ternak
digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena
ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya… Kepada orang yang naik ia harus
mengeluarkan biaya perawatannya”, (HR Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i, Bukhari
no. 2329, kitab ar-Rahn).
Para fuqaha sepakat membolehkan praktek rahn / gadai ini,
asalkan tidak terdapat praktek yang dilarang, seperti riba atau penipuan.di
masa Rasulullah praktek rahn pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan
kambingnya. Rasululah SAW ditanya bolehkah susu kambingnya diperah. Nabi
mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan.Artinya, Rasullulah
mengizinkan kita boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk
menutup biaya pemeliharaan.Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian
dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau
rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu
lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah,
atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
Praktek gadai syariah ini sangat strategis mengingat
citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini.
Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah
mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini
juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya seorang produsen film butuh biaya untuk memproduksi
filemnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar
beberapa puluh juta rupiah. Setelah hasil panenya terjual dan bayaran telah
ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap
jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
2.3 Rukun dan Syarat Rahn
Ulama fiqih dalam menetapkan rukun pelaksanaan akad rahn
tersebut. Menurut jumhur ulama ulama rukun rahn itu ada empat yaitu :
1.
Sigah ( Lafal ijab Kabul), yaitu pernyataan adanya perjanjian
gadai. Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di
dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2.
Ar-rahin dan al-murtahin (orang yang berakat)
3.
Al-marhun (harta yang dijadikan anggunan)
4.
Al-marhunbih (utang)
Sedangkan ulama mazhaf hanafi
berpendapat lain bahwa rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang
sebagai anggunan oleh pemilik barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi
utang dan menerima barang anggunan tersebut). Disamping
itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatya akad rahn ini,
maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh kridor. Adapaun
kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan
utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan rukunnya.
Pemahaman dari pengertian ar-rahn sebagai
patokan dalam pengertian gadai syariah yang mencakup unsur-unsur antara lain :
a)
Ada syarat subyek yaitu : orang yang menggadaikan (rahin)
dan orang yang menerima gadai (murtahin) keduanya ada syarat-syarat
tertentu :
1. Telah dewasa menurut hukum
2. Berakal
3.
Mampu atau cakap berbuat hokum
b) Ada syarat obyek yaitu : barang yang
dapat di gadaikan (marhun) dengan syarat-syarat tertentu antara lain:
1. Benda yang mengandung nilai ekonomis
2. Dapat di perjual belikan dan tidak
melanggar undang-undang.
3. Barang milik rahin
4. Benda bergerak
c) Adanya kata sepakat (sighot)
yaitu : kata sepakat setelah negosiasi antara rahin dan murtahin yang
kemudian di implementasikan dalam perjanjian.
Disamping syarat-syarat diatas ulama
fiqih sepakat menyatakan bahwa rahn itu dianggap sempurna apabila barang yang
di rahn-kan itu secara hokum sudah ditangan kriditor dan uang yang dibutuhkan
telah diterima debitor. Apabila jaminan itu berupa benda tidak bergerak maka
tidak harus benda itu yang diberikan tetapi cukup sertipikat yang
diberikan.
Syarat-syarat kesempurnaan rahn oleh ulama disebut sebagai
al-qabd al-marhun (barang jaminan dikuasai oleh debitor. Syarat ini menjadi penting
karena Allah SWT dalam surah al-bakharah (2) ayat 283 menyatakan : ‘ fa-rihan
maqbudah’ ( barang jaminan itu dipegang oleh kreditor, maka akad rahn bersifat
mengikat bagi kedua belah pihak.
2.4 Manfaat Barang Gadai.
Agar lebih jelasnya perbedaan pendapat para
ulama mengenai pemanfaatan barang gadai akan dipaparkan sebagai berikut :
1.
Pendapat Imam Syafii.
Dalam kitab al-Um’nya Imam
Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang jaminan sebagai berikut: “Manfaat
dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari
barang jaminan itu bagi yang menerima gadai.”.
Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama
Safiiyah bahwa orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat
barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan
penerima gadai, Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali
ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai
tidak boleh mengambil manfaat barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad,
tetapi jika mengambil manfaatnya itu diizinkan oleh orang yang menggadai maka
itu diperbolehkan.
Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini
pada hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu
tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan
dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan resikonya (kerusakan dan biaya)”.
Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah
yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”.
Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis di atas yakni bahwa
yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah pemiliknya dan bukan
orang yang menerima gadai.
Dari penjelasan dan dasar syar’i yang
digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah di atas dapat diartikan bahwa manfaat
barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan orang yang menerima barang
gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi barang jaminan
sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada si pegadai dan dapat
memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.
2.
Pendapat Imam Malik (Malikiyah).
Ulama Malikiyah dalam hal
pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil dari barang gadaian dan segala
sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang menggadaikan, dan hasil
gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai tidak
mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan
bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan
beberapa syarat:
a.
Utang terjadi karena jual beli dan bukan
karena menguntung-kan.
b.
Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa
manfaat dari barang gadai adalah untuknya.
c.
Jangka waktu mengambil manfaat yang telah
disyaratkan waktunya harus ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak
diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah (Sayyid Sabiq, hal. 188).
Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut
ulama Malikiyah sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang
yang digadaikan.
Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan
keduanya yaitu bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang
memilikinya (menggadainya).Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya
pemanfaatan barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam
Syafii atau ulama Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai
(orang yang mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang
membolehkan pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan olehBukhari dari Abu
Hurairah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia
dijadikan jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan
jaminan utang dan kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR
Bukhari).
3. Pendapat Imam Ahmad Ibn
Hambal (Hambaliyah).
Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih
menekankan pada jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang
digadai tersebut hewan atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya
atau tidak.Jika barang yang digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka
boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang gadai.Sedangkan jika
barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah maka barang tersebut
dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela dan
selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang.(Sayyid Sabiq, hal. 189).
Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat
dikalangan Ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas
merupakan refrensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat
memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai
pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan. Fara ulama fiqhi sepakat
menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan untuk pemeliharaan barang gadai
tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya, yaitu debitor hal ini sejalan
dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan”….. pemilik gadai berhak atas segala
hasil barang gadai dan ia juga bertanggung jawab atas segala biaya barang gadai
tersebut. ( HR. Asy-syafi’i dan ad-Daruqutni).
Ulama
fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak boleh di biarkan
begitu saja, tampa menghasilkan sama sekali, karena tindakan tersebut termaksuk
tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW (HR. at
tirmizi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang
jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan? Dalam
persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Jumhur
ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa pemegang gadai
tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang
barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan piutang yang ia
berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa
menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu
dikarenakan Rasulullah SAW Bersabda yang artinya : barang
jaminan tidak boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang
jaminan dan tanggung jawabnya” ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari
Abu Hurairah)
Akan
tetapi apa bila pemilik barang mengizinkan pemengan barang gadai
memanfaatkannya maka barang tersebut selama ditangannya dia bisa
memanfaatkannya, maka sebahagian ulama membolehkannya, karena dengan adanya
izin maka tidak ada halangan bagi pemegang gadai tersebut.
2.5
Tahap-Tahap Implementasi Akad Ar-Rahn
Adapun
untuk mendapatkan pinjaman dengan skim ar-Rahn ini ada
beberapa tahapan yang di lalui :
A.
Tahap Pengajuan
Pada tahap ini seorang nasabah
apabila ingin mendapatkan pinjaman dari Pegadaian Syariah ia harus datang
dengan memenuhi beberapa persyaratan:
1. Menyerahkan copy KTP atau identitas
resmi lainnya.
2. Menyerahkan barang sebagai jaminan
yang berharga misalnya berupa emas, berlian, elektronik, dan kendaraan
bermotor.
3. Untuk kendaraan bermotor, cukup
menyerahkan dokumen kepemilikan berupa BPKB dan copy dari STNK sebagai
pelengkap jaminan.
4. Mengisi formulir permintaan pinjaman.
5. Menandatangani akad.
Setelah
syarat-syarat ini terpenuhi, nasabah membawa barang jaminan disertai photo copy
identitas ke loket penaksiran barang jaminan. Barang akan ditaksir oleh
penaksir, kemudian akan memperoleh pinjaman uang maksimal 90% dari nilai
taksiran.
Tahap berikutnya adalah tahap
perjanjian yang dilakukan sebagai berikut:
B.
Tahap Akad Rahn
Pada tahap Akad Rahn,
pihak rahin harus datang sendiri dan melakukan negosiasi
terlebih dahulu atas perjanjian yang di buat oleh pihak Pegadaian Syariah.Bila
pihak rahin tidak sepakat, boleh membatalkan untuk tidak jadi
meminjam uang di Pegadaian Syariah.Namun bila telah sepakat atas perjanjian
yang ada, maka nasabah langsung menandatangani akad tersebut.Adapun akad yang
di gunakan dalam perjanjian ar-Rahn ini adalah akad ijaroh atau Fee
Based marhun yang bisa di sebut ijarah yakni rahin dimintai
imbalan sewa tempat, ujroh pemeliharaan marhun dalam
hal penyimpanan barang yang di gadaikan. Apa yang diperjanjikan?
Hal-hal yang di perjanjikan dalam perjanjian ar-Rahn adalah
:
a. Judul perjanjian yaitu akad
rahn.
b. Hari dan tanggal serta tahun akad
c. Kedudukan para pihak yaitu :
1.
Kantor cabang pegadaian syariah yang diwakili oleh kuasa
pemutus marhun bih, dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta
kepentingan CPS. Di sebut sebagai pihak pertama.
2.
Rahin atau pemberi gadai adalah orang yang nama dan alamatnya
tercantum dalam surat bukti rahn ini.
d. Hal-hal yang diperjanjikan dalam
ar-Rahn antara lain :
1.
Rahn dengan ini mengakui telah menerima pinjaman dari
murtahin sebesar nilai pinjaman dan dengan jangka waktu pinjaman sebagaimana
tercantum dalam surat buku rahn.
2.
Murtahin dengan ini mengakui telah menerima barang milik
rahn yang digadaikan kepada murtahin, dan karenanya murtahin berkewajiban
mengembalikannya pada saat rahin telah melunasi pinjaman dan
kewajiban-kewajibannya lainnya.
3.
Atas transaksi rahn tersebut diatas, rahn dikenakan biaya
administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.
Apabila jangka waktu akad telah jatuh tempo, dan rahin tidak
melunasi kewajiban-kewajibannya, serta tidak memperpanjang akad, maka rahin
dengan ini menyetujui dan atau memberikan kuasa penuh yang tidak dapat ditarik
kembali untuk melakukan penjualan atau lelang marhun yang berada dalam
kekuasaan murtahin guna pelunasan pembayaran kewajiban-kewajiban tersebut.
Dalam hal hasil penjualan atau lelang marhun tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban-kewajiban
rahin, maka rahin wajib membayar sisa kewajibannya kepada murtahin sejumlah
kekurangannya.
5.
Bilamana terdapat kelebihan hasil penjualan marhun, maka
rahin berhak menerima kelebihan tersebut, dan jika dalam jangka satu tahun
sejak dilaksanakan penjualan marhun, rahin tidak mengambil kelebihan tersebut,
maka dengan ini rahin menyetujui untuk menyalurkan kelebihan tersebut sebagai
shodaqah yang pelaksanaannya diserahkan kepada murtahin.
6.
Apabila marhun tersebut tidak laku dijual, maka rahin menyetujui
pembelian marhun tersebut oleh murtahin minimal sebesar harga taksiran marhun.
7. segala sengketa yang timbul yang ada
hubungannya dengan akad ini yang tidak dapat diselesaikan secara damai, maka
akan diselesaikan melaui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah
bersifat final dan mengikat.
e. Membubuhkan tandatangan menunjukkan
persetujuan akad rahn.
Selain akad rahn, ada pula akad ijaroh yang
tujuannya adalah untuk memperjanjikan biaya-biaya yang berkaitan dengan rahn.
Adapun perjanjian ijarah setelah akad rahn isinya
adalah sebagai berikut :
a. Berisi judul akad yaitu akad ijarah
b. Hari dan tanggal serta tahun akad
c. Keterangan tentang kedudukan para
pihak :
1.
Kantor Cabang Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut dalam
surat bukti rahn ini yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa pemutus marhun bih
dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama serta kepentingan CPS untuk
selanjutnya disebut sebagai Mu’ajjir.
2. Musta’jir adalah orang yang nama dan
alamatnya tercantum dalam surat bukti rahn ini.
d. Pengakuan adanya akad rahn
sebelumnya yang isinya :
1.
Bahwa musta’jir sebelumnya telah mengadakan perjanjian dengan muajjir sebagaimana
tercantum dalam akad rahn yang juga tercantum di dalam surat bukti rahn ini,
dimana musta’jir bertindak sebagai rahin dan muajjir bertindak
sebagai murtahin dan oleh karenanya akad rahn tersebut merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan akad ini.
2. Bahwa atas marhun berdasarkan akad
diatas musta’jir setuju dikenakan ijarah.
e. Kesepakatan tentang akad ijarah,
yang isinya adalah :
1.
Para pihak sepakat dengan tarif ijarah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk jangka waktu per-sepuluh hari kalender dengan
ketentuan penggunaan ma’jur selama satu hari tetap dikenakan
ijarah sebesar ijarah per-sepuluh hari.
2.
Jumlah keseluruhan ijarah tersebut wajib di bayar sekaligus
oleh musta’jir kepada mu’ajjir diakhir jangka waktu akad rahn
atau bersamaan dengan dilunasinya pinjaman.
3. Apabila dalam penyimpanan marhun
terjadi hal-hal di luar kemampuan musta’jir sehingga menyebabkan marhun
hilang/rusak tak dapat dipakai maka akan diberikan ganti rugi sesuai ketentuan
yang berlaku di PERUM Pegadaian. Atas pembayaran ganti rugi ini musta’jir setuju
dikenakan potongan sebesar marhun bih + ijarah sampai dengan tanggal ganti
rugi, sedangkan perhitungan ijarah dihitung sampai dengan tanggal penebusan /
ganti rugi.
Simulasi perhitungan ar-Rahn berdasarkan akad ujroh (fee
based marhun) :
Biaya yang di perhitungkan dalam
membayar upah meliputi sewa pemakaian tempat, pemeliharaan marhun dan asuransi
marhun. Maka perhitungan yang di lakukan adalah:
Ijarah = Taksiran barang x Tarif (Rp) x Jangka
waktu
10.000,-
Hari
Misalnya
: nasabah memiliki 1 keping Logam Mulia seberat 25 gram dengan kadar 99,99%
asumsi harta per gram emas 99,99%= Rp. 300.000,- maka cara menghitungnya adalah
sebagai berikut:
·
Taksiran
= 25 gr. x Rp 300.000,- = Rp 7.500.000,-
·
Uang Pinjaman
= 90% x Rp 7.500.000,- = Rp 6.750.000,-
·
Ijaroh /10 hari = 7.500.000,- x 80 x 10 =
Rp 60.000,-
Rp10.000,- 10
·
Biaya Administrasi = Rp 25.000,-
Jika
nasabah menggunakan marhun bih selama 26 hari, ijaroh
ditetapkan dengan menghitung per 10 hari x 3 maka besar ijaroh adalah Rp.
180.000,- (Rp. 60.000,- x 3) ijaroh di bayar pada saat nasabah melunasi atau
memperpanjang dengan akad baru.
C.
Tahap Realisasi Perjanjian
Pada
tahap realisasi akad yang telah di sepakati bersama dan telah
di tandatangani oleh kedua belah pihak dilanjutkan dengan realisasi penyerahan
pinjaman kepada rahin.
D.
Tahap Akhir Gadai
Pada
tahap akhir gadai, yang di lakukan adalah sebelum berakhirnya gadai, pihak murtahin (Pegadaian
Syariah ) memberikan informasi kepada rahin bahwa pinjaman akan berakhir.
Setelah di sampaikan maka rahin akan membayar sejumlah uang yang di pinjam dan
biaya-biaya penyimpanan selama gadai. Dalam hal ini proses pelunasan bisa
dilakukan kapan saja sebelum jangka waktunya, baik dengan cara sekaligus
ataupun di angsur. Namun apabila pihak rahin tidak mampu membayar sebesar uang
pinjamannya di tambah biaya sewa tersebut, maka barang di lelang oleh Pegadaian
Syariah untuk membayar, sedangkan bila ada sisanya uang akan di kembalikan
kepada rahin, tapi bila uangnya kurang untuk menutupi pinjaman dan biayanya
maka pihak rahin di minta untuk membayar kekurangannya. Tapi
pada kenyataan bahwa rahin sering tidak membayar kekurangan
dari uang pinjamannya.
E.
Realisasi Pelelangan Barang Gadai
Pelelangan
barang gadai di sebabkan karena pihak rahin tidak mampu
membayar seluruh hutangnya beserta biaya-biaya yang harus di tanggungnya.Karena
itu pihak murtahin diperbolehkan untuk menjual atau melelang
barang yang telah di gadaikan kepada murtahin. Adapun meknisme
penjualannya adalah sebagai berikut:
a. Pihak rahin mewakilkan kepada murtahin untuk
menjualkan barang yang digadaikan;
b. Pihak murtahin akan
menginformasikan secara umum melalui pengumuman bahwa akan diadakan lelang pada
tanggal tertentu.
c. Pihak murtahin melaksanakan
lelang yang sesuai dengan prosedur.
2.6
Perbedaan
Teknis Pelaksanaan Gadai Konvensional dan Gadai Syariah
A.
Mekanisme
Pegadaian Konvensional
Dalam pegadaian, obyek yang digadaikan
biasanya terdiri dari emas dan perhiasan lainnya.Meskipun perhiasan berlian
kurang diminati oleh pegadaian, karena beberapa factor dalam prakteknya yaitu
adanya penipuan.Jadi yang lebih diminati adalah emas, karena lebih mudah
ditandai keasliannya.Selain perhiasan, diterima pula kendaraan seperti mobil,
motor dll, meskipun tetap yang lebih disukai adalah emas.
Cara kerja pegadaian yang konvensional
ini adalah dengan cara: orang yang perlu uang datang ke tempat pegadaian,
mereka akan menyerahkan barang yang akan digadaikan, barang yang akan
digadaikan ini akan ditaksir oleh petugas, dan nilai taksirannya akan diberikan
dalam bentuk uang. Sehingga orang yang memerlukan uang itu akan menerima
sejumlah uang, sesuai nilai taksir barang yang digadaikannya. Mereka biasanya
menggadaikan barangnya selama 4, 6 bulan, sesuai yang disepakati, tapi biasanya
tidak lebih dari 1 tahun. Jadi biasanya kegunaannya ini agak berbeda dari bank
yang bisa 2 atau 3 tahun, ini untuk kegunaan yang mendesak.”, Layaknya pada
lembaga keuangan lainnya, pegadaian pun mengenakan bunga untuk jasa yang
dilakukannya.
Dari jumlah uang yang diberikan
tersebut, maka pegadaian akan mengenakan jasa uang, atau yang di perbankan
disebut bunga. Sehingga orang yang menggadaikan tadi akan membayarkan bunga, dan
pada saat jatuh temponya mereka akan membayar kembali barang tersebut, sehingga
mereka memperoleh kembali barangnya. Secara ringkas itu adalah cara kerja
pegadaian yang konvensional.
B.
Mekanisme
Pegadaian Syari’ah
Sedangkan pada pegadaian syariah, proses
pinjam-meminjamnya masih sama dengan pegadaian konvensional. Secara umum tidak
ada perbedaan dari sisi peminjam.Hanya saja, bunga yang dikenakan pada
pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada pegadaian syariah.
Sedangkan pegadaian syariah mempunyai
mekanisme yang sedikit berbeda. Yaitu yang pertama, apabila ada orang yang
membutuhkan uang dan mereka datang ke pegadaian syariah, maka secara teknis
akan dilakukan penaksiran terhadap barang yang akan digadaikan. Kemudian
setelah dilakukan penaksiran terhadap barang yang digadaikan, orang tersebut
akan mendapatkan sejumlah dana sesuai nilai taksiran tersbut. Sampai sini masih
sama dengan pegadaian konvensional, di mana terjadi proses pinjam-meminjam
uang. Bedanya di pegadaian konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut
jasa uang, sedangkan di syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa
uang.Lalu dari mana pegadaian syariah mendapatkan keuntungan jika mereka tidak
bisa mengenakan bunga atau yang tadi kita sebut sebagai jasa uang?Barang yang
digadaikan tersebut, harus dtitipkan.Tempat penitipan inilah yang dibayar
jasanya. Jadi ada jasa penitipan barang..Jasa pentipan ini tidak serta merta
dikalikan dari persentase tertentu, tapi dia dikaitkan dengan suatu rate
tertentu.Misalnya kalau barangnya sekian gram sampai sekian gram, biaya
penitipannya sekian.Sehinga yang terjadi di pegadaian syariah ini, nasabah
dikenakan charge berupa biaya tempat pentipian.Jadi mereka membayar biaya sewa
penitipan.
Selain dari biaya sewa penitipan yang
menggantikan bunga, dalam pegadaian syariah peminjam cuma bisa menggadaikan
barang dalam bentuk emas, dan belum bisa dalam bentuk barang yang lainnya
seperti pada pegadaian konvensional.
Di dalam pegadaian syariah juga,
perbedaan berikutnya, yang dilakukan sejauh ini hanya gadai emas saja.Sedangkan
gadai perhiasan di luar emas, yang dinilai emasnya saja.Begitu juga gadai
mobil, motor, belum dilakukan di pegadaian syariah.Sehingga dalam pegadaian
syariah ini masih terbatas dalam emas saja dan dikenakan biaya penyewaan tempat
penitipan.Sama dengan konvensional, di pegadaian syariah pun jangka waktunya
tidak panjang.Hanya sekitar 4, 6, 8 atau 12 bulan saja.Tidak melebihi dari itu,
karena pegadaian ini harus kita gunakan secara hati hati untuk keperluan yang
betul-betul mendesak dan penting saja. Untuk kebutuhan lain, pegadaian bukanlah
tempat yang cocok untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya lebih jangka panjang
dan nilainya lebih besar.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada keterangan diatas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa pegadaian konvensional
dengan pegadaian syari’ah yakni secara
umum tidak ada perbedaan dari sisi peminjam. Hanya saja, bunga yang
dikenakan pada pegadaian konvensional, diganti dengan biaya penitipan pada
pegadaian syariah.
Sedangkan pegadaian syariah mempunyai
mekanisme yang sedikit berbeda. Yaitu yang pertama, apabila ada orang yang
membutuhkan uang dan mereka datang ke pegadaian syariah, maka secara teknis
akan dilakukan penaksiran terhadap barang yang akan digadaikan.
Kemudian setelah dilakukan penaksiran
terhadap barang yang digadaikan, orang tersebut akan mendapatkan sejumlah dana
sesuai nilai taksiran tersbut. Sampai sini masih sama dengan pegadaian
konvensional, di mana terjadi proses pinjam-meminjam uang. Bedanya di pegadaian
konvensional dikenakan bunga, yang biasa disebut jasa uang, sedangkan di
syariah mereka tidak bisa mengenakan bunga atau jasa uang.
Lalu dari mana pegadaian syariah
mendapatkan keuntungan jika mereka tidak bisa mengenakan bunga atau yang tadi
kita sebut sebagai jasa uang? Barang
yang digadaikan tersebut, harus dtitipkan. Tempat penitipan inilah
yang dibayar jasanya. Jadi ada jasa penitipan barang. Jasa pentipan ini tidak
serta merta dikalikan dari persentase tertentu, tapi dia dikaitkan dengan suatu
rate tertentu. Misalnya
kalau barangnya sekian gram sampai sekian gram, biaya penitipannya sekian. Sehinga yang terjadi di
pegadaian syariah ini, nasabah dikenakan charge berupa biaya tempat pentipian.
Jadi mereka membayar biaya sewa penitipan
DAFTAR PUSTAKA
Abduk Kadir Muhammad, 1998, Hukum Perusahaan Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Ar-Rahn di Indonesia Konsep,
Implementasi dan institusionalisasi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Abdul mannan,1995, Islamic economic, Theory and Practice,
terjemahan oleh M. Nastangin, Teori dan Praktik Ekonomi Islam,Penerbit PT. Dana
Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
Al-Amaanah al ‘Aamah Lihai’at Kibar Al Ulama, 1422H, Abhaats
Hai’at Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Su’udiyah, Cetakan I.
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawâhib al-Jalîl, V/2, Dar
al-Fikr, Beirut, cet.II. 1398.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, 2005, Ensiklopedia Muslim, Minhajul
Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi.
Adiwarman A. Karim,2006, Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, 1983, Hukum Islam tentang Riba,
Utang-Piutang Gadai, al-Ma’arif, Bandung.
Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) dalam Islam.
Majalah Al Waie 57
Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan
Muhamma Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats Al ‘Arabi,
Beirut.
Ali Anwar Yusuf,2002, Wawasan Islam, Setia
Pustaka,Bandung.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.