BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Penalaran atau reasoning
merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses
pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan baru dari
beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam pernyataan-pernyataan itu
terdiri dari pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu
dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekabutan arti.
Unsur-unsur di sini bukan
merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal
sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah
suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirnya.
Unsur-unsur penalaran yang dimaksudkan adalah tentang pengertian, karena
pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Untuk mendapatkan
pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu analisa dalam
bentuk pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian yang menyusunnya,
hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian. Dan selanjutnya
diadakan pembatasan arti atau definisi. Mendefinisikan sesuatu masalah bukanlah
hal yang berlebihan, tetapi untuk memperjelas sebagai titik tolak penalaran,
sehingga kekaburan arti dapat dihindarkan. Definisi dan pembagian merupakan dua
hal yang saling melengkapi. Untuk mendapatkan definisi yang baik sering
membutuhkan suatu pembagian. Demikian juga untuk memudahkan mengadakan
pembagian, suatu definisi sering juga dibutuhkan.
Dalam proses pemikiran yang berbentuk
penalaran, antara pengertian satu dengan yang lain dapat dihubungkan dan
seterusnya diungkapkan dalam bentuk kalimat, dan kalimat ini ada yang disebut
kalimat tertutup atau disebut juga dengan pernyataan. Dan pernyataan inilah
merupakan bentuk terakhir yang akan di perbandingkan dalam penalaran. Oleh
karena itu, dalam bab ini sebagai awal pembicaraan logika akan diuraikan
berturut-turut tentang pengertian dan term, pembagian dan definisi, serta
tentang pernyataan dan penalaran.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Apa
prinsip dan unsur penalaran ?
1.2.2 Apa
itu penalaran induktif dan deduktif ?
1.2.3 Bagaimana
cara menyusun definisi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui
prinsip dan unsur penalaran.
1.3.2 Mengetahui
penalaran induktif dan dedutif.
1.3.3 Mengetahui
cara menyusun definisi.
BAB
II
TEORI
DAN PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penalaran
Penalaran adalah bentuk tertinggi dari pemikiran, oleh sebab itu penalaran
lebih rumit dibanding pengertian proposisi.
Hakikat penalaran terlahir dari tutur bahasa makhluk yang berpikir. Secara
sederhana penalaran dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan
berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
Kalimat pernyataan yang dapat dipergunakan sebagai data itu disebut
proposisi. Sebelum kita mengetahui apa itu proposisi, terlebih dahulu kita
harus mengetahui apa yang dimaksud term. Term adalah suatu kata atau kelompok
kata yang menempati subjek (S) dan predikat (P). Tidak semua kata adalah
term, meskipun setiap term itu adalah kata atau kumpulan kata.
Contohnya :
Orang tua
asuh, pecinta alam, binatang, dll.
Adapun pengertian dari proposisi adalah kalimat logika yang merupakan
pernyataan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah.
Proposisi merupakan suatu kegiatan rohani, baik menyuguhkan atau mengingkari.
Contohnya :
Proposisi
yang menyuguhkan “ semua orang negro berkulit hitam “ dan proposisi yang
mengingkarinya “tidak semua orang negro berkulit hitam”.
Jadi, penlaran adalah proses berfikir yang sistematik untuk memperoleh
sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran juga merupakan proses berpikir
yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan
sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan
terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis. Dan berdasarkan sejumlah proposisi
yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru
yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut dengan menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut premis
entesedens) dan hasil kesimpulannya disebut konklusi (consequence). Dan
hubungan
antara premis dan konklusi disebut konsekuensi. Kegiatan penalaran mungkin
bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat
dibedakan sebagai penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran ilmiah
mencakup kedua proses penalaran itu.
2.2 Penalaran
Induktif
Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa
prinsip atau sifat yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat
khusus, prosesnya disebut induksi.
Contoh:
Suatu lembaga kanker di Amerika
melakukan studi tentang hubungan antara kebiasaan merokok dengan kematian.
Antara tanggal 1 Januari dan 31 Mei 1952 terdaftar 187.783 laki-laki yang
berumur antara 50 sampai dengan 69 tahun. Kepada mereka dikemukakan
pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan merokok mereka pada masa lalu dan masa
sekarang. Selanjutnya keadaan mereka diikuti ters menerus selama 44 bulan.
Berdasarkan surat kematian dan keterangan medis tentang penyebab kematiannya,
diperoleh data bahwa diantara 11.870 kematian yang dilaporkan 2.249 disebabkan
kanker.
Dari seluruh jumlah kematian yang
terjadi (baik yang merokok maupun yang tidak) ternyata angka kematian
dikalangan pengisap rokok tetap jauh lebih tinggi daripada yang tidak pernah
merokok, sedangkn jumlah kematian penghisap pipa dan cerutu tidak banyak
berbeda dengan jumlah kematian yang tidak pernah merokok.
Dari bukti-bukti yang terkumpul dapatlah
dikemukakan bahwa asap tembakau memberikan pengaruh yang buruk dan memperpendek
umur mnusia. Cara yang paling sederhana untuk menghindari kemungkinan itu ialah
dengan tidak merokok sama sekali.
Hukum yang disimpulkan difenomena yang
diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Beberapa bentuk
penalaran induktif adalah sebagai berikut :
2.2.1 Generalisasi
Ganeralisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena
individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena
sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.
Macam-macam
generalisasi :
a.
Generalisasi sempurna
Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana
seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contohnya,
setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian
disimpulkan bahwa :
Semua bulan
Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31. Dari penyimpulan ini, keseluruhan
fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita
tinggalkan. Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak
dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak ekonomis.
b.
Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi
berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi
fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Contohnya,
setelah kita menyelidiki sebagian bangsa indonesia, ternyata mereka adalah
manusia yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi
tidak sempurna.
Sah
atau tidaknya sebuah simpulan dari generalisasi itu dapat dilihat dari hal-hal
berikut :
a. Data
itu harus memadai jumlahnya. Semakin banyak data yang didapat atau dikumpulkan,
makin sah pula simpulan yang diperoleh
b. Data
itu harus mewakili keseluruhan. Dari data yang sama itu akan dihasilkan
simpulan yang sah.
c. Pengecualian
perlu diperhitungkan karena data-data yang mempunyai sifat khusus tidak dapat
dijadikan data.
2.2.2 Analogi
Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Dengan kata lain, penalaran analogi dapat diartikan sebagai proses penyimpulan berdasarkan fakta atau kesamaan atau proses membandingkan dari dua peristiwa (hal) yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian ditariklah kesimpulan dari persamaannya tersebut.
Jenis – Jenis Analogi :
a. Analogi Induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan.
Contoh analogi induktif :
Club Persija Jakarta mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka Club Persib Bandung akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
b. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.
Contoh analogi deklaratif :
Deklaratif untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
2.2.3 Hubungan Klausal
Hubungan
klausal adalah cara penalaran yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa yang
memiliki pola hubungan atau saling berhubungan satu sama lain. Yaitu salah satu
variable (independen) mempengaruhi variable yang lain (dependen). Dalam
kaitannya dengan hubungan klausal ini, ada tiga hubungan antarmasalah, yaitu
sebagai berikut:
a.
Hubungan sebab-akibat
Hubungan
sebab-akibat ini berpola A menyebabkan B. Namun juga bisa berpola A menyebabkan
C atau menyebabkan D, dan seterusnya.
Contohnya :
Kemarin Budi
tidak dapat mengerjakan soal ujian. Hari ini pengumuman nilai ujian dan Budi
mendapatkan nilai yang jelek. Karena itu, Budi pasti tidak belajar.
b.
Hubungan akibat-sebab
Dalam
penalaran jenis akibat-sebab ini, peristiwa “sebab” merupakan simpulan.
c.
Hubungan akibat-akibat
Hubungan
akibat-akibat adalah suatu penalaran yang menyiratkan penyebabnya. Yaitu
peristiwa “akibat” langung disimpulkan pada “akibat” yang lain.
Contohnya :
Kemarau
panjang menyebabkan sungai kering.
(A)
(B)
Kemarau panjang
menyebabkan sawah menjadi kekurangan air.
(A)
(C)
Dalam proses penalaran, “akibat-akibat”, peristiwa “sungai kering (B)”
merupakan data, dan “sawah menjadi kering (C)” merupakan simpulan. Jadi, karena
sungai kering sawah menjadi kekurangan air.
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi adalah pengelompokan yang sistematis dari pada sejumlah obyek, gagasan, buku atau benda-benda lain ke dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama
Macam – macam klasifikasi :
1. Klasifikasi Artifisial
Sistem ini adalah mengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri atau sifat-sifat lainnya, misal pengelompokan menurut pengarang, atau berdasarkan ciri fisiknya, misalnya ukuran, warna sampul, dan sebagainya.
2. Klasifikasi Utility
Pengelompokan bahan pustaka dibedakan berdasarkan kegunaan dan jenisnya. Misal, buku bacaan anak dibedakan dengan bacaan dewasa. Buku pegangan siswa di sekolah dibedakan dengan buku pegangan guru. Buku koleksi referens dibedakan dengan koleksi sirkulasi (berdasar kegunaannya).
3. Klasifikasi fundamental
Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri subyek atau isi pokok persoalan yang dibahas dalam suatu buku. Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya:
a. Bahan pustaka yang subyeknya sama atau hampir sama, letaknya berdekatan.
b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai koleksi yang dimiliki dengan melihat subyek mana yang lemah dan mana yang kuat.
c. Memudahkan pemakai dalam menelusur informasi menurut subyeknya.
d. Memudahkan pembuatan bibliografi menurut pokok masalah.
e. Untuk membantu penyiangan atau weeding koleksi.
Kasifikasi fundamental banyak digunakan oleh perpustakaan besar maupun kecil. Dalam sistem tersebut buku dikelompokan berdasarkan subyek, sehingga memudahkan pemakai dalam menelusur suatu informasi.
2.3 Penalaran Deduktif
Penalaran Deduktif adalah suatu
penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah
diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan
baru yang bersifat lebih khusus.
Metode
ini diawali dari pembentukan
· Teori,
hipotesis,
· Definisi
operasional,
· Instrumen
dan
· Operasionalisasi.
Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala
terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan
selanjutnya dilakukan penelitian dilapangan. Dengan demikian konteks penalaran
deduktif tersebut, konsep dan teori merupakankata kunci untuk memahami suatu
gejala.
Penalaran deduktif didasarkan atas
prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk suatu hal
ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan
tentang sesuatu yang khusus yang merupakan abgian dari hal atau gejala diatas.
Dengan kata lain, penalaran deduktif bergerak dari sesuatu yang umum kepada
yang khusus.
Dalam penalaran,
proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens)
dan hasil kesimpulannya disebut denganconsequence (konklusi).
Metode berpikir
deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh:
Masyarakat
Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan
(khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang
menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status
sosial.
2.3.1
Pengertian
Premis Mayor dan Premis Minor
Premis mayor adalah pernyataan umum,
sementara premis minor artinya pernyataan khusus. Proses itu dikenal dengan
istilah silogisme. Silogisme merupakan proses penalaran di mana dari dua
proposisi (sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi).
Misalnya
: "Semua orang akhirnya akan
mati" (premis mayor).
Hasan
adalah orang (premis minor).
Oleh
karena itu, "Hasan akhirnya juga akan mati" (kesimpulan).
Jadi,
berfikir deduktif adalah berfikir dari yang umum ke yang khusus. Dari yang
abstrak ke yang konkrit. Dari teori ke fakta-fakta.
2.3.2
Jenis
Penalaran Deduktif
Jenis
penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu:
1. Silogisme
Kategorial :
Silogisme
yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun berdasarkan
klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Konditional hipotesis yaitu :
bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen.
Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen. Premis
yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan
premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Contoh
:
Premis
Mayor : Tidak ada manusia yang abadi
Premis
Minor : Socrates adalah manusia
Kesimpulan
: Socrates tidak abadi
v Hukum-hukum
Silogisme Katagorik
Apabila
dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua
yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian
makanan tidak menyehatkan,
Jadi
Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan
tidak boleh: Semua makanan tidak halaldimakan).
v Kaedah-
kaedah dalam silogisme kategorial adalah :
1.
Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor, term
penengah.
2. Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu
premis mayor, premis minor, dan kesimpulan
3. Dua premis yang negatif tidak dapat
menghasilkan simpulan.
4. Bila salah satu premisnya negatif, simpulan
pasti negative.
5. Dari premis yang positif, akan dihasilkan
simpulan yang positif.
6. Dari dua premis yang khusus tidak dapat
ditarik satu simpulan.
7. Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat
khusus.
8. Dari premis mayor khusus dan premis minor
negatif tidak dapat ditarik satu simpulan.
2. Silogisme
Hipotesis
Silogisme yang terdiri atas premis
mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Menurut Parera (1991: 131)
Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.
Akan tetapi premis mayor bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika …
konklusi tertentu itu terjadi, maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi.
Premis minor menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi.
Ada
4 (empat) macam tipe silogisme hipotesis:
1. Silogisme
hipotesis yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika
hujan, saya naik becak.
Sekarang
hujan.
Jadi
saya naik becak.
2. Silogisme
hipotesis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila
hujan, bumi akan basah.
Sekarang
bumi telah basah.
Jadi
hujan telah turun.
3. Silogisme
hipotesis yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika
politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan tidak
akan timbul.
4. Silogisme
hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila
mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak
gelisah. Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
v Kaedah-
kaedah Silogisme Hipotesis
Mengambil konklusi dari silogisme
hipotesis jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang
penting di sini adalah menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya
merupakan pernyataan yang benar.
Bila
antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal hukum
silogisme hipotetik adalah:
1.
Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2.
Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3.
Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4.
Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana
Contoh
:
a. Premis
Mayor: Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal
Premis
Minor: Hujan tidak turun
Konklusi
: Sebab itu panen akan gagal.
b. Premis Mayor : Jika tidak ada air, manusia
akan kehausan.
Premis
Minor : Air tidak ada.
Kesimpulan
: Manusia akan kehausan.
3. Silogisme
Akternatif :
Silogisme yang terdiri atas premis
mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis
minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak
alternatif yang lain. Proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang
menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis
minornya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme
disyungtif dalam arti sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas.
Silogisme disyungtif dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif
kontradiktif, seperti:
la
lulus atau tidak lulus.
Ternyata
ia lulus
Jadi,
la bukan tidak lulus
Silogisme
disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan
kontradiktif, seperti:
Xsa
di rumah atau di pasar.
Ternyata
tidak di rumah.
Jadi,
di pasar
Silogisme
disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1. Premis minornya mengingkari salah
satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain.
2. Premis
minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari
alternatif yang lain.
v Kaedah-kaedah
silogisme alternatif :
1. Silogisme disyungtif dalam arti
sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya
valid
2. Silogisme disyungtif dalam arti luas,
kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna
konklusinya sah (benar)
Contoh
: Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b.
Bila premis minor mengingkari salah satu alterna konklusinya tidak sah (salah)
Contoh
: Penjahat itu lari ke Surabaya atau
ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Surabaya. (Bisa jadi ia
lari ke kota lain).
Rifki menjadi guru atau pelaut.
Ternyata
ia bukan pelaut.
Jadi
ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang)
Contoh
:
Premis
Mayor : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Premis
Minor : Nenek Sumi berada di Bandung.
Kesimpulan
: Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
4. Entimen
Silogisme ini jarang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang dikemukakan
hanya premis minor dan kesimpulan.
Entimen atau Enthymeme berasal dari
bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya pikiran adalah sejenis
silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah,
tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem, penghilangan bagian dari
argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas, istilah
"enthymeme" kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen yang
tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.
Menurut Aristoteles yang ditulis dalam
Retorika, sebuah "retorik silogisme" adalah bertujuan untuk
pembujukan yang berdasarkan kemungkinan komunikan berpendapat sedangkan teknik
bertujuan untuk pada demonstrasi. Kata lainnya, entimem merupakan silogisme
yang diperpendek.
Contoh
:
Rumus
Entimen:
PU
: Semua A = B : Pegawai yang baik tidak pernah datang terlambat.
PK
: Nyoman pegawai yang baik.
S
: Nyoman tidak pernah datang terlambat
Entimen
: Nyoman tidak pernah datang terlambat karena ia pegawai yang baik
v Beberapa
ciri utama dari penalaran deduktif, yaitu :
1. Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti
benar
2.
Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara
implisit, dalam premis.
5.
Salah Nalar
Salah nalar (fallacy) ialah gagasan, pikiran atau simpulan yang keliru atau
sesat. Salah nalar terjadi karena kita tidak mengikuti tata cara pemikiran
dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu akan macam salah nalar, yaitu :
1.
Deduksi yang salah
Salah nalar akibat deduksi yang
salah amat sering dilakukan orang. Hal ini terjadi akibat simpulan simpulan
yang salah dalam silogisme yang berpremis salah atau yang premisnya tidak
Misalnya : Pengiriman
manusia ke bulan hanyalah penghamburan. (premisnya : semua eksperimen ke
angkasa luar hanyalah penghamburan)
2. Generalisasi yang terlalu luas
Salah nalar ini terjadi karena
jumlah premis yang terbatas tidak memadai. Harus dicatat bahwa kadang-kadang
premis yang terbatas mengizinkan generalisasi yang sahih.
Misalnya : Orang Indonesia malas tetapi ramah. ( Orang
Indonesia ada yang malas ada juga yang ramah).
3. Pemikiran “atau ini, atau itu”
Misalnya : Petani
harus bersekolah supaya terampil. (Apakah untuk menjadi terampil kita selalu
harus bersekolah? )
4. Salah nalar atas penyebabnya
Generalisasi induktif sering
disusun berdasarkan pengamatan sebab dan akibat, tetapi kita kadang-kadang
tidak menilai dengan tepat sebab suatu peristiwa atau hasil kejadian. Khususnya
dalam hal yang menyangkut manusia, penentuan sebab dan akibat sifatnya sulit.
Salah nalar atas penyebab yang lazim terjadi ialah salah nalar yang disebut
post hoc dan ergo propter hoc (sesudah itu dan maka karena itu).
Misalnya : Swie King menjadi juara karena doa kita.
(Lawan Swie King tentu juga didoakan oleh para pendukungnya).
5. Analogi yang salah
Analogi adalah usaha perbandingan
dan merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan penalaran. Namun, analogi
tidak membuktikan apa-apadan analogi yang salah dapat menyesatkan karena
logikanya salah.
Misalnya : Rektor harus memimpin unuversitas seperti
jendral memimpin divisi. (Universitas itu bukan tentara dengan disiplin
tentara).
6. Penyimpangan masalah
Salah nalar disini terjadi jika
argumentasi tidak mengenai pokok, atau jika kita menukar pokok masalah dengan
pokok masalah yang lain, ataupun jika kita menyimpang dari garis masalah.
Misalnya : Program kelurga berencana tidak perlu karena
tanah di Kalimantan masih kosong. (Manusia tidak bisa hidup dengan hanya memilikitanah).
7. Pembenaran masalah lewat pokok sampingan
Salah nalar disini muncul jika
argumentasi menggunakan pokok yang tidak langsung berkaitan, untuk membenarkan
pendiriannya. Misalnya orang merasa kesalahannya dapat dibenarkan karena
lawannya juga berbuat salah.
Misalnya : Saya boleh berkorupsi karena orang lain
berkorupsi juga. (Korupsi dihalalkan karena banyaknay korupsi dimana-mana).
8. Argumentasi ad hominem
Salah nalar ini terjadi jika kita
dalam argumentasi melawan orangnya dan bukan persoalannya. Khususnya dibidang
politik, argumentasi jenis ini banyak dipakai.
Misalnya :
Ia tidak mungkin seorang pemimpin yang baik karena kekayaannya berlimpah. (Yang
dipersoalkan bukanlah kepemimpinannya).
9. Imbauan
pada keahlian yang disangsikan
Dalam pembahasan masalah, orang
sering mengandalkan wibawa kalangan ahli untuk memperkuat argumentasinya.
Mengutip pendapat seorang ahli sangat berguna walaupun kutipan itu tidak dapat
membuktikan secara mutlak kebenaran pokok masalah. Misalnya, kita mengutip
pendapat bintang film tentang pengembangan demokrasi.
10. Non sequitur
Dalam argumentasi, salah nalar
ini mengambil simpulan berdasarkan premis yang tidak, atau hampir tidak ada
sangkut pautnya sama sekali.
Misalnya : Partai
Rakyat Madani paling banyak cendekiawannya; karena itu usul-usulnya paling
bermutu. (Tidak ada korelasi antara kecendekiaan dan kepandaian merumuskan
usul).
2.4
Prinsip-Prinsip
Penalaran
Istilah “prinsip” sering diartikan dengan “kaidah” atau “hukum”, adapun yang dimaksudkan adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal, yaitu kebenarannya tidak terbatas oleh ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja dapat digunakan.
Suatu prinsip, jika tidak
membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas dengan sendirinya, karena terlalu
sederhana, maka prinsip itu disebut dengan “aksioma” atau “prinsip dasar”.
Dengan demikian aksioma atau prinsip dasar dapat didefinisikan: suatu
pernyataan mengandung kebenaran universal yang kebenarannya itu sudah terbukti
dengan sendirinya, atau dirumuskan juga, suatu hal yang diterimanya sebagai
kenyataan yang bersifat universal. Sebagai contoh misalnya salah satu aksioma
Euklidus (seorang tokoh Geometrika Iskandariah sekitar tahun 300 SM) : “Suatu
keseluruhan lebih besar daripada sebagian”. Pernyataan ini jelas dengan
sendirinya, lansung dapat dimengerti tidak perlu membutuhkan hal-hal lain untuk
membuktikan kebenarannya.
Aksioma atau prinsip dasar, setiap ilmu pengetahuan berbeda-beda, namun
demikian ada juga suatu aksioma dari suatu ilmu digunakan juga sebagai aksioma
bagi ilmu yang lain. Demikian juga prinsip dalam logika yang akan diuraikan ada
kemungkinan digunakan oleh ilmu lain. Prinsip dasar dalam logika sering disebut
dengan “prinsip penalaran”, dan ada juga yang menyebutnya dengan “prinsip-prinsip
pemikiran”. Adapun penggunaannya lansung berhubungan dengan menetapkan
pernyataan. Oleh karena itu sebenarnya tepat jika dikatakan “prinsip dasar
pernyataan”.
Prinsip dasar pernyataan ini hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan
pertama-kali adalah Aristoteles (384-322), adapun prinsip kedua mengalami
penyempurnaan dalam menyatakan dan tanpa merobah makna yang dimaksudkannya,
yaitu : prinsip identitas, prinsip non kontradiksi, dan prinsip eksklusi
tertii. Ketiga prinsip ini diuraikan secara terperinci sebagai berikut :
1.
Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium
identitatis (law of identity), merupakan dasar dari semua penalaran, sifatnya
langsung analitis dan jelas dengan sendirinya, tidak membutuhkan pembuktian.
Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama halnya sendiri”, dengan
kata lain : “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu
sendiri bukan yang lain”. Secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p <=> p) dibaca
: p adalah identik
P
itu sendiri.
Sesuatu
x yang disebut sebagai p adalah identik dengan p itu sendiri
Prinsip ini
menyatakan bahwa sesuatu benda adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang
lain. Dan selanjutnya dalam suatu perbincangan, jika sesuatu hal diartikan
sesuatu p tertentu maka selama perbincagan itu masih berlangsung tidak boleh
diartikan selain p, dalam arti harus tetap sama dengan arti yang diberikan
semula. Atau dengan rumuan lain, pengakuan bahwa benda ini adalah benda ini
bukan benda lain, dan bahwa benda itu adalah benda itu bukan benda yang lain.
2.
Prinsip non Kontradiksi
Prinsip ini dalam istilah latin ditulis principium
contradictionis (law of contrediction), yakni prinsip kontradiksi. Penyebutan
prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, karena yang dimasudkan adalah tidak
adanya kontradiksi dalam suatu pernyataan, Prinsip non kontradiksi berbunyi :
sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu
yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan
tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain : ‘sesuatu tidaklah mungkin
secara bersamaan merupakan p dan non p”. Secara simbolik dirumuskan sebagai
berikut :
- (p ˄ -p) dibaca : tidaklah demikian
halnya bahwa p dan non p bersamaan.
Sesuatu x jika merupakan
anggota p jelaslah tidak mungkin sekaligus anggota non p. Yang dimaksudkan
dengan prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak)
tidak mungkin ada pada suatu benda dalam waktu dan tempat yang sama. Kita misalkan
suatu pernyataan : badan benda x ini hidup dan tidak hidup. Kedua term yang
sebagai sifat untuk badan benda x itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam
saat yang sama, walaupun benda x itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dan
pada saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya bersamaan waktu.
3.
Prinsip eksklusi tertii :
Prinsip ini dalam istilah Latin ialah principium
exclusi tertii (law of excluded middle), yakni prinsip penyisihan jalan tengah
atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi tertii berbunyi
: “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka
tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah” dengan kata lain :
sesuatu x mestilah “p” atau “non p” sekaligus, atau juga “non p” dan “non-non
p” bersamaan, hal ini tidak mungkin, berdasarkan prinsip non kontradiksi.
Prinsip ini secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p V –p) dibaca
; sesuatu mestilah p atau non p.
Sesuatu
x hanya sebagai anggota p atau anggota non p.
Arti dari
prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak
mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang
dapat dimilikinya, sifat p atau non p. Atau dengan kata lain bahwa salah satu
dari dua sifat yang berlawanan penuh mestilah benar bagi salah satu dan tidak
benar bagi yang lain, tidak mungkin keduanya benar atau tidak mungkin keduanya
salah, misal :benda hidup x ini manusia atau bukan manusia. Jika dinyatakan
sebagai manusia dinilai benar, berarti sesuai dengan kenyataan, maka bukan
manusia adalah salah, karena jelas tidak sesuai dengan kenyataannya, atau
sebaliknya, dinyatakan sebagai manusia dinilai salah, maka bukan manusia adalah
benar, tidak ada kemungkinan ketiga, yaitu keduanya benar atau keduanya salah
pada satu benda.
Disamping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, seorang
filsuf Jerman Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) menambah satu prinsip
yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu :
4.
Prinsip cukup alasan
Prinsip ini dalam istilah Latin disebut dengan
principium rationis sufficientis (law of sufficient reason), yang berbunyi :
“suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan
alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang
mencukupi”. Dengan kata lain : “Adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan
yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”, misal :
jika suatu benda jatuh ke tanah, alasannya ialah karena adanya daya tarik bumi,
sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. Prinsip cukup alasan ini
dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak langsung
menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, artinya tetap
sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi suatu perubahan,
maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab
perubahan itu.
2.5 Penyusunan Definisi
Definisi juga merupakan unsur atau bagian dariapada ilmu pengetahuan yang
merumuskan dengan singkat dan tepat mengenai objek atau masalah. Definisi
sangat penting bagi seseorang yang menginginkan sanggup berfikir dengan baik,
membuat definsi terlebih dahulu bukanlah hal memperpanjang persoalan tetapi
justru membuktikan pendidikan seseorang bahwa dia tahu kerangkan masalahnya.
Definisi berasal dari kata Latin “definire” yang berarti menandai batas-batas
pada sesuatu, menentukan batas, memberi ketentuan atau batasan arti, jadi
“definisi” dapat diartikan sebagai penjelasan apa yang diaksudkan dengan
sesuatu term, atau dengan kata lain definsi ialah sebuah pernyataan yang memuat
penjelasan tentang arti suatu term.
Pernyataan yang memuat arti penjelasan ini terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian pangkal disebut dengan definiendum yang berisi istilah yang harus diberi
penjelasan, dan bagian pembatas disebut dengan definiens yang berisi uraian
mengenai arti dari bagian pangkal. Misal definisi tentang “manusia”, manusia
adalah mahluk yang berakal budi. Istilah atau kata manusia disebut definiendum,
sedang keterangan mahluk yang berakal budi disebut definiens.
a. Macam-macam
Definisi
Definisi ini banyak sekali macam-macamnya, yang disesuailan dengan pelbagai
langkah, lingkupan, sifat, dan tujuannya. Secara garis besar definisi dibedakan
menjadi tiga macam, yakni definisi nominalis, definisi realis, dan definisi
praktis.
a.a.
Definisi Nominalis
Definisi nominalis ialah menjelaskan sebuah kata dengan kata lain yang
lebih umum dimengerti. Jadi sekedar menjealskan kata sebagai tanda, bukan
menjalaskan hal yang ditandai, misal : nirwana adalah sorga. Definisi nominalis
terutama dipakai pada permulaan sesuatu pembicaraan, diskusi, perdebatan ,
dengan maksud menunjukkan apa yang menjadi poko pembicaraan, diskusi,
peredebatan. Definisi nominalis ini ada enam macam :
1. Definisi
Sinonim, yakni penjelasan dengan memberikan persamaan kata atau memberikan
penjelasan dengan kata yang lebih dimengerti, misal : kampus adalah lapangan,
lahan adalah tanah, arca adalah patung, nirwana adalah sorga, memeraman adalah
menyimpan buah-buahan yang belum masak supaya lekas masak. Definisi ini paling
singkat dan yang digunakan di dalam kamus.
2. Definisi
simbolis, yakni penjelasan dengan memberikan persamaan pernyataan berbentuk
simbol-simbol. Definisi ini digunakan dalam bidang matematika termasuk juga
logika untuk memberi penjelasan secara simbolis, misal :
(P → Q) ↔ (―P V Q)
(A Ϲ B) ↔ Ax (x A → x B)
Dalam contoh
pertama antara bagian pangkal dan bagian pembatas sama nilainya, sedang dalam
contoh kedua bagian pembatasnya menguraikan makna secara simbolis dari bagian
pangkal.
3. Definisi
etimologis, yakni penjelasan dengan memberika asal-usulnya kata, misal :
demokrasi dari asal kata “demos” berarti rakyat, “kratos / kratein” berarti
kekuasaan / berkuasa, jadi demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau rakyat
yang berkuasa.. Contoh lain misal : filsafat adalah cinta kebijaksanaan,
metamorphose adalah perubahan bentuk.
4. Definisi
semantis, yakni penjelasan tanda dengan suatu arti yang telah terkenal, misal :
tanda
berarti : maka atau jadi.
=> berarti : jika ......... maka .........
<=> berarti : bila dan hanya bila
5. Definisi
stipulatif, yakni penjelasan dengan cara pemberian nama atas dasar kesepakatan
bersama, misal : planet tertentu disebut “mars”. Definisi seperti ini banyak
digunakan dalam lapangan ilmu pengetahuan, terutama dalam penemuan hal-hal
baru, misal pemberian nama lembah-lembah yang ada di bulan, pemberian nama
tumbuh-tumbuhan baru hasil perkembangannya.
6. Definisi
denotatif, yakni penjelasan term dengan cara menunjukkan atau memberikan contoh
suatu benda atau hal yang termasuk dalam cakupan term, misal : tanaman adalah
seperti jagung, padi, kedelai, dan sebangsanya. Definisi seperti ini ada dua
macam yakni :
v Definisi
ostensif, yakni memberi batasan sesuatu dengan memberikan contoh, misalnya
mendefinisikan apakah itu batu kerikil,
dengan mengambil batu kerikil dan kemudian berkata “inilah batu kerikil”.
v Definisi
enumeratif, yakni memberi batasan sesuatu term dengan memberikan perincian satu
demi satu secara lengkap mengenai hal-hal yang termasuk dalam cakupan term
tersebut, misal : Propinsi di Indonesia adalah jawa tengah, Daerah Istimewa
Yogjakarta, jawa barat, dan seterusnya sampai terakhir Timor-Timur.
Definisi denotatif ini lebih khusus
serta lebih konkrit berguna dalam corak pemberitaan elementer, namun dalam hal
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan serta uraian yang tehnis definisi ini
kurang berguna.
Dalam membuat definisi nominalis ada
tiga syarat yang perlu diperthatikan ialah : (1) Apabila sesuatu kata hanya
mempunyai sesuatu arti tertentu, hal ini harus selalu dipegang. Juga kata-kata
yang sangat biasa diketahui umum, hendaknya dipakai juga menurut arti dan pengertiannya
yang sangat biasa. (2) Jangan menggunakan kata untuk mendefinisikan jika tidak
tahu artinya secara tepat dan terumus jelas. Bilamana muncul keragu-raguan
mengenai sesuatu term, harus diberi terlebih dahulu definisi dengan telitid dan
hati-hati. (3) Apabila arti dan pengertian sesuatu term menjadi suatu objek
pembicaraan, definisi nominalis atau definisi taraf pertamanya harus sedemikian
rupa sehingga dapat secara tepat diakui oleh kedua pihak yang berdebat.
a.b Definisi Realis
Definisi Realis ialah penjelasan
tentang hal yang ditandai oleh sesuatu term. Jadi bukan sekedar menjelaskan
term, tetapi menjelaskan isi yang dikandung oleh term. Definisi realis banyak
digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan serta hal-hal yang bersifat tehnis.
Definisi realis ini ada dua macam:
1. Definisi
essensial, yakni penjelasan dengan cara menguraikan bagian-bagian yang menyusun
sesuatu hal. Bagian-bagian ini antara satu dengan yang lain dapat dibedakan
secara nyata atau hanya beda dalam akal pikiran. Oleh karena itu definisi
essensial dapat dibedakan antara definisi analitis dan definisi konotatif.
v Definisi
analitis, yakni menunjukkan bagian-bagian sesuatu benda yang mewujudkan
essensinya. Definisi ini disebut juga definisi essensial fisik, karena dengan
cara analisa fisik. Misal “manusia” dapat didefinisikan : suatu substansi yang
terdiri badan dan jiwa. Air adalah H2O.
v Definisi
konotatif, yakni menunjukkan isi dari suatu term yang terdiri dari genus dan
diferensia. Definisi ini disebut juga definisi essensial metafisik, memberikan
jawaban yang terdasar dengan menunjukkan predikabel substansinya, misal :
manusia adalah hewan yang berakal, hukum adalah peraturan yang bersifat
memaksa. Bentuk definisi semacam ini adalah sangat ideal, tetapi sayang tidak
semua hal dapat didefinisikan semacam ini. Definisi konotatif dicapai dengan
melalui tiga langkah :
v Pertama,
membandingkan hal yang hendak didefinisikan dengan semua hal-hal yang lain.
v Kemudian,
menunjukkan jenis atau golongan yang memuat hal tadi.
v Akhirnya,
menunjukkan ciri-ciri yang memperdakan hal tadi dari semua hal-hal lain yang
termasuk golongan sama.
2. Definisi
deskriptif, yakni penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki
oleh hal yang didefinisikan. Sifat-sifat ini khusus pada halnya yang dapat
membedakan hal-hal lain yang terdapat dalam golongan yang sama. Definisi ini
dibedakan antara definisi aksidental dan definisi kausal.
v Definisi
aksidental, penjelasan dengan cara menunjukkan jenis dari halnya dengan
sifat-sifat khusus yang menyertai hal tersebut, atau dengan rumusan lain, yakni
penjelasan yang disusun dari genus dan propium, misal : manusia adalah hewan
yang berpolitik, manusia adalah hewan yang menggunakan simbol-simbol, manusia
adalah mahluk sosial, bangsa adalah sekelompok manusia yang pada umumnya
memiliki watak-watak sosial tertentu.
v Definisi
kausal, penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana sesuatu hal terjadi atau
terwujud. Hal ini berarti juga memaparkan asal-mula atau perkembangan dari
hal-hal yang ditunjuk oleh suatu term. Definisi ini disebut juga definisi
genetik, misal : awan adalah uap air yang terkumpul di udara karena penyinaran
laut oleh matahari, murtad adalah orang yang berpindah dari sesuatu agama ke
agama lain, jam adalah suatu benda dengan upaya untuk menunjukkan waktu.
a.c. Definisi Praktis
Definisi praktis ialah penjelasan
tentang hal sesuatu ditinjau dari segi penggunaan dan tujuannya yang sederhana.
Definisi ini merupakan gabungan antara definisi nominalis dan definisi realis,
namun tidak dapat dimasukkan dalam salah satu diantara keduanya, misal :
filsafat adalah berfikir ilmiah mencari kebenaran hakiki. Definisi praktis ini
ada tiga macam :
1. Definisi
oprasional, yakni penjelasan suatu term dengan cara menegaskan langkah-langkah
pengujian khusus yang harus dilaksanakan atau dengan metode pengukuran serta
menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati, ini ada dua macam :
v Kualitatif :
berdasarkan isi dan kekuatan, misal : magnit adalah logam yang dapat menarik
gugusan besi, emas adalah logam jika di uji secara fisis dan kimiawi ternyata
mengandung unsur yang bernilai.
v Kuantitatif
: berdasarkan banyaknya, misal : panjang adalah jumlah kali ukuran standard
memenuhi jarak.
2. Definisi
persuasip, yakni penjelasan dengan cara merumuskan sesuatu penyataan yang dapat
mempengaruhi orang lain, misal : lux adalah sabun bintang film, tepat waktu
adalah keutamaan dari orang-orang modern, sosialisme adalah demokrasi sosial
ekonomi, kecermatan adalah kebajikan orang-orang terpelajar. Definisi ini
kelihatannya menjelaskan arti dari sesuatu kata atau istilah, tetapi
sesungguhnya secara tidak langsung menyarankan kepada pihak lain supaya
menyetujui atau atau menolak sesuatu hal. Dengan demikian definisi ini pada
hakekatnya merupakan alat untuk membujuk atau tehnik untuk menganjurkan
dilakukannya perbuatan tertentu atau dapat juga untuk membangkitkan emosi
seseorang.
3. Definisi fungsional,
yakni penjelasan sesuatu berdasarkan guna atau tujuan, misal : negara adalah
suatu persekutuan besar yang bertujuan kesejahteraan bersama bersifat
pragmatis, bahasa adalah pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat
komunikasi manusia, filsafat adalah berfikir ilmiah mencari kebenaran.
b. Syarat-syarat
Definisi
Dalam merumuskan definisi ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan
supaya definisi yang dirumuskan itu betul-betul mengungkapkan pengertian yang
didefinisikan secara jelas dan mudah dimengerti. Syarat-syarat yang akan
dikumukakan di sini merupakan syarat secara umum berlaku untuk semua definisi
terutama sekali definisi realis, disamping juga ada syarat khusus untuk
definisi nominalis.
Syarat-syarat definisi secara umum
dan sederhana ada lima syarat, namun ada juga yang merumuskan lebih dari lima,
yang sebenarnya hanya merupakan penjelasan berikutnya. Lima syarat yang
dimaksudkan adalah sebagai berikut :
1. Sebuah
definisi harus menyatakan ciri-ciri hakiki dari apa yang didefinisikan, yakni
menunjukkan pengertian umum yang meliputinya beserta ciri pembedanya yang
penting. Syarat ini penting dalam definisi ilmiah, sebagaimana untuk
mendefinisikan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, organisme. Misal definisi kuda
adalah eguus caballus, eguus adalah himpunan umum (genus) yang meliputi kuda,
dan caballus adalah ciri pembeda (diferensia) yang membedakan kuda dari
keledai, zebra, dan lain-lain anggota dari golongan yang sama. Contoh lain,
hewan adalah organisme berindera, organisme merupakan hakekat zat dari hewan,
sedang berindera merupakan hakekat sifat dari hewan.
2. Sebuah
definisi harus merupakan suatu kesetaraan arti dengan hal yang didefinisikan,
maksudnya tidak terlampau luas dan tidak terlampau sempit. Syarat ini
melahirkan dua anak- syarat :
v Definisi tidak lebih luas dari yang
didefinisikan, oleh karena itu harus mengeluarkan setiap yang tidak termasuk ke
dalam lingkungan yang didefinisikan, atau eksklusif. Mendefinisikan sebuah meja
sebagai “perabot rumah tangga” adalah terlampau luas.
v Definisi
tidak lebih sempit dari yang didefinisikan, oleh karena itu harus menarik ke
dalam lingkungan pengertian setiap diri yang termasuk didefinisikan, atau
inklusif. Mendefinisikan kursi sebagai “barang yang sekarang diduduki” adalah
terlampau sempit.
3. Sebuah
definisi harus menghindarkan pernyataan yang memuat term yang didefinisikan,
artinya definisi tidak boleh berputar-putar memuat secara langsung atau tidak
langsung subjek yang didefinisikan. Syarat ini seringkali dilanggar dan tidak
diketahui, karena definisi tersebut dinyatakan dalam kata-kata yang ditinjau
secara etimologis seasal dengan istilah-istilah yang didefinisikan, Misal :
keracunan adalah hasil akibat minum racun, obat tidur adalah bahan yang
mengandung sifat-sifat yang dapat menidurkan, pengetahuan adalah hal-hal yang
diketahui dalam ingatan, hukum waris adalah hukum yang mengatur harta warisan.
4. Sebuah
definisi sedapat mungkin harus dinyatakan dalam bentuk rumusan yang positif,
yakni tidak boleh dinyatakan secara negatif jika dapat dinyatakan dengan
kata-kata yang positif, karena membuat definisi ialah untuk mengatakan apakah
barang sesuatu, dan bukannya untuk mengatakan bukan apakah barang sesuatu
itu.Tetapi memang benar bahwa dalam banyak hal jika mempunyai pengertian yang
jelas tetantang bukan apakah barang sesuatu itu, maka dapat lebih mudah
menangkap ciri-cirinya yang positif. Contoh pelanggran terhadap syarat ini
ialah : kebebasan akademis ialah tidak dipengaruhi pembatasan-pembatasan dalam
berbicara dan menulis, dinyatakan kaya apabila orang itu tidak miskin. Syarat
ini perlu mendapatkan perhatian yang istimewa, karena banyak hal yang hanya
dapat didefinisikan dengan mengandung pengertian negatif, misal : bujangan
adalah lelaki dewasa yang belum kamin, perawan adalah wanita dewasa yang belum
kawin.
5. Sebuah
definisi harus dinyatakan secara singkat dan jelas terlepas dari rumusan yang
kabur atau bahasa kiasan, karena maksud membuat definisi ialah memberi
penjelasan serta menghilangkan perwayuhanarti (makna ganda) maka dengan dipakianya
istilah-istilah yang kabur dapat menghalangi maksud tersebut. Misalnya :
alumunium adalah suatu jenis logam tertentu yang bercahaya. Contoh lain
definisi yang dibuat oleh Herbert Spencer tentang “evolusi”, meskipun tidak
niscaya kurang tepat, namun karena dalam membicarakan bahannya secara abstrak,
maka akibatnya definisi yang diajukan juga agak kabur, yakni : “evolusi” adalah
integrasi antara materi dengan lenyapnya gerakan yang bertepatan waktunya, pada
waktu mana materi beralih dari homogenitas yang tidak tertentu serta tidak
berhubungan menjadi heterogenitas yang tertentu serta berhubungan, dan pada waktu mana gerakan yang
tersisa mengalami transformasi yang pararel.
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Logika artinya bernalar; penalaran (reasoning) adalah proses mengambil simpulan
(conclusion) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence) yang ada. Secara umum
ada dua jalan untuk mengambil simpulan dalam penalaran, yakni lewat penalaran
induktif dan penalaran deduktif. Deduktif dan induktif berkaitan dengan logika
atau penalaran. Cara menarik simpulan bisa dilakukan dengan dua cara, yakni
penarikan simpulan secara langsung dan penarikan simpulan secara tidak
langsung. Salah nalar (fallacy) ialah gagasan, perkiraan atau simpulan yang
keliru atau sesat. Salah nalar terjadi karena kita tidakmengikuti tata
carapemikiran dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu membantu kita menemukan
logika yang tidak masuk akal dalam tulisan atau karangan.
DAFTAR PUSTAKA
http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/unsur-unsur-penalaran.html
http://ilhamkons.wordpress.com/2011/12/30/penalaran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar