Minggu, 22 September 2013

Makalah Penalaran



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
     Penalaran atau reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam pernyataan-pernyataan itu terdiri dari pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekabutan arti.
     Unsur-unsur di sini bukan merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirnya. Unsur-unsur penalaran yang dimaksudkan adalah tentang pengertian, karena pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Untuk mendapatkan pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu analisa dalam bentuk pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian yang menyusunnya, hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian. Dan selanjutnya diadakan pembatasan arti atau definisi. Mendefinisikan sesuatu masalah bukanlah hal yang berlebihan, tetapi untuk memperjelas sebagai titik tolak penalaran, sehingga kekaburan arti dapat dihindarkan. Definisi dan pembagian merupakan dua hal yang saling melengkapi. Untuk mendapatkan definisi yang baik sering membutuhkan suatu pembagian. Demikian juga untuk memudahkan mengadakan pembagian, suatu definisi sering juga dibutuhkan.
     Dalam proses pemikiran yang berbentuk penalaran, antara pengertian satu dengan yang lain dapat dihubungkan dan seterusnya diungkapkan dalam bentuk kalimat, dan kalimat ini ada yang disebut kalimat tertutup atau disebut juga dengan pernyataan. Dan pernyataan inilah merupakan bentuk terakhir yang akan di perbandingkan dalam penalaran. Oleh karena itu, dalam bab ini sebagai awal pembicaraan logika akan diuraikan berturut-turut tentang pengertian dan term, pembagian dan definisi, serta tentang pernyataan dan penalaran.

1.2     Permasalahan
1.2.1  Apa prinsip dan unsur penalaran ?
1.2.2  Apa itu penalaran induktif dan deduktif ?
1.2.3  Bagaimana cara menyusun definisi ?
1.3     Tujuan
1.3.1  Mengetahui prinsip dan unsur penalaran.
1.3.2  Mengetahui penalaran induktif dan dedutif.
1.3.3  Mengetahui cara menyusun definisi.


BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1     Pengertian Penalaran

Penalaran adalah bentuk tertinggi dari pemikiran, oleh sebab itu penalaran lebih rumit dibanding pengertian proposisi.
Hakikat penalaran terlahir dari tutur bahasa makhluk yang berpikir. Secara sederhana penalaran dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
Kalimat pernyataan yang dapat dipergunakan sebagai data itu disebut proposisi. Sebelum kita mengetahui apa itu proposisi, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud term. Term adalah suatu kata atau kelompok kata yang menempati subjek (S) dan predikat (P). Tidak  semua kata adalah term, meskipun setiap term itu adalah kata atau kumpulan kata.
Contohnya :
Orang tua asuh, pecinta alam, binatang, dll.
Adapun pengertian dari proposisi adalah kalimat logika yang merupakan pernyataan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Proposisi merupakan suatu kegiatan rohani, baik menyuguhkan atau mengingkari.
Contohnya :
Proposisi yang menyuguhkan “ semua orang negro berkulit hitam “ dan proposisi yang mengingkarinya “tidak semua orang negro berkulit hitam”.
Jadi, penlaran adalah proses berfikir yang sistematik untuk memperoleh sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran juga merupakan proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis. Dan berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut dengan menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut premis entesedens) dan hasil kesimpulannya disebut konklusi (consequence). Dan
hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan sebagai penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran ilmiah mencakup kedua proses penalaran itu.
2.2     Penalaran Induktif

Penalaran induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sifat yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut induksi.
Contoh:
             Suatu lembaga kanker di Amerika melakukan studi tentang hubungan antara kebiasaan merokok dengan kematian. Antara tanggal 1 Januari dan 31 Mei 1952 terdaftar 187.783 laki-laki yang berumur antara 50 sampai dengan 69 tahun. Kepada mereka dikemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan merokok mereka pada masa lalu dan masa sekarang. Selanjutnya keadaan mereka diikuti ters menerus selama 44 bulan. Berdasarkan surat kematian dan keterangan medis tentang penyebab kematiannya, diperoleh data bahwa diantara 11.870 kematian yang dilaporkan 2.249 disebabkan kanker.
             Dari seluruh jumlah kematian yang terjadi (baik yang merokok maupun yang tidak) ternyata angka kematian dikalangan pengisap rokok tetap jauh lebih tinggi daripada yang tidak pernah merokok, sedangkn jumlah kematian penghisap pipa dan cerutu tidak banyak berbeda dengan jumlah kematian yang tidak pernah merokok.
              Dari bukti-bukti yang terkumpul dapatlah dikemukakan bahwa asap tembakau memberikan pengaruh yang buruk dan memperpendek umur mnusia. Cara yang paling sederhana untuk menghindari kemungkinan itu ialah dengan tidak merokok sama sekali.
             Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Beberapa bentuk penalaran induktif adalah sebagai berikut :

2.2.1    Generalisasi
            Ganeralisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.
Macam-macam generalisasi :
a.    Generalisasi sempurna
Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contohnya, setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa :
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31. Dari penyimpulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan. Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak ekonomis.
b.    Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Contohnya, setelah kita menyelidiki sebagian bangsa indonesia, ternyata mereka adalah manusia yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna.
 Sah atau tidaknya sebuah simpulan dari generalisasi itu dapat dilihat dari hal-hal berikut :
a.  Data itu harus memadai jumlahnya. Semakin banyak data yang didapat atau dikumpulkan, makin sah pula simpulan yang diperoleh
b.  Data itu harus mewakili keseluruhan. Dari data yang sama itu akan dihasilkan simpulan yang sah.
c.  Pengecualian perlu diperhitungkan karena data-data yang mempunyai sifat khusus tidak dapat dijadikan data. 

2.2.2    Analogi

               Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Dengan kata lain, penalaran analogi dapat diartikan sebagai proses penyimpulan berdasarkan fakta atau kesamaan atau proses membandingkan dari dua peristiwa (hal) yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian ditariklah kesimpulan dari persamaannya tersebut.

 Jenis – Jenis Analogi : 

a.    Analogi Induktif  

Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan. 

Contoh analogi induktif :

Club Persija Jakarta mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka Club Persib Bandung akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.

b.    Analogi Deklaratif  

Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.

Contoh analogi deklaratif :

Deklaratif untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.

 2.2.3   Hubungan Klausal
                           Hubungan klausal adalah cara penalaran yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa yang memiliki pola hubungan atau saling berhubungan satu sama lain. Yaitu salah satu variable (independen) mempengaruhi variable yang lain (dependen). Dalam kaitannya dengan hubungan klausal ini, ada tiga hubungan antarmasalah, yaitu sebagai berikut:
a.    Hubungan sebab-akibat
Hubungan sebab-akibat ini berpola A menyebabkan B. Namun juga bisa berpola A menyebabkan C atau menyebabkan D, dan seterusnya.
Contohnya :
Kemarin Budi tidak dapat mengerjakan soal ujian. Hari ini pengumuman nilai ujian dan Budi mendapatkan nilai yang jelek. Karena itu, Budi pasti tidak belajar.
b.    Hubungan akibat-sebab
Dalam penalaran jenis akibat-sebab ini, peristiwa “sebab” merupakan simpulan.
c.    Hubungan akibat-akibat
Hubungan akibat-akibat adalah suatu penalaran yang menyiratkan penyebabnya. Yaitu peristiwa “akibat” langung disimpulkan pada “akibat” yang lain.
Contohnya :
Kemarau panjang menyebabkan sungai kering.
(A)                                 (B)
Kemarau panjang menyebabkan sawah menjadi kekurangan air.
(A)                                                  (C)

            Dalam proses penalaran, “akibat-akibat”, peristiwa “sungai kering (B)” merupakan data, dan “sawah menjadi kering (C)” merupakan simpulan. Jadi, karena sungai kering sawah menjadi kekurangan air.

2.2.4    Klasifikasi

               Klasifikasi adalah pengelompokan yang sistematis dari pada sejumlah obyek, gagasan, buku atau benda-benda lain ke dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama 

 

 

Macam – macam klasifikasi :

1.    Klasifikasi Artifisial 

Sistem ini adalah mengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri atau sifat-sifat lainnya, misal pengelompokan menurut pengarang, atau berdasarkan ciri fisiknya, misalnya ukuran, warna sampul, dan sebagainya. 

2.    Klasifikasi Utility 

Pengelompokan bahan pustaka dibedakan berdasarkan kegunaan dan jenisnya. Misal, buku bacaan anak dibedakan dengan bacaan dewasa. Buku pegangan siswa di sekolah dibedakan dengan buku pegangan guru. Buku koleksi referens dibedakan dengan koleksi sirkulasi (berdasar kegunaannya). 

3.    Klasifikasi fundamental 

Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri subyek atau isi pokok persoalan yang dibahas dalam suatu buku. Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: 

a.  Bahan pustaka yang subyeknya sama atau hampir sama, letaknya berdekatan. 

b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai koleksi yang dimiliki dengan melihat subyek mana yang lemah dan mana yang kuat. 

c. Memudahkan pemakai dalam menelusur informasi menurut subyeknya. 

d. Memudahkan pembuatan bibliografi menurut pokok masalah. 

e. Untuk membantu penyiangan atau weeding koleksi.

Kasifikasi fundamental banyak digunakan oleh perpustakaan besar maupun kecil. Dalam sistem tersebut buku dikelompokan berdasarkan subyek, sehingga memudahkan pemakai dalam menelusur suatu informasi.


2.3     Penalaran Deduktif
Penalaran Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.

Metode ini diawali dari pembentukan
·    Teori, hipotesis,
·    Definisi operasional,
·    Instrumen dan
·    Operasionalisasi.
Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian dilapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakankata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk suatu hal ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan abgian dari hal atau gejala diatas. Dengan kata lain, penalaran deduktif bergerak dari sesuatu yang umum kepada yang khusus.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut denganconsequence (konklusi).
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh:
Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
2.3.1        Pengertian Premis Mayor dan Premis Minor
Premis mayor adalah pernyataan umum, sementara premis minor artinya pernyataan khusus. Proses itu dikenal dengan istilah silogisme. Silogisme merupakan proses penalaran di mana dari dua proposisi (sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi).
Misalnya :  "Semua orang akhirnya akan mati" (premis mayor).
 Hasan adalah orang (premis minor).
 Oleh karena itu, "Hasan akhirnya juga akan mati" (kesimpulan).
Jadi, berfikir deduktif adalah berfikir dari yang umum ke yang khusus. Dari yang abstrak ke yang konkrit. Dari teori ke fakta-fakta.
2.3.2        Jenis Penalaran Deduktif
Jenis penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu:
1.    Silogisme Kategorial :
Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Contoh :
Premis Mayor : Tidak ada manusia yang abadi
Premis Minor : Socrates adalah manusia
Kesimpulan : Socrates tidak abadi


v  Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halaldimakan).
v  Kaedah- kaedah dalam silogisme kategorial adalah :
1. Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor, term penengah.
2.  Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan
3.  Dua premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.
4.  Bila salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negative.
5.  Dari premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.
6.  Dari dua premis yang khusus tidak dapat ditarik satu simpulan.
7.  Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat khusus.
8.  Dari premis mayor khusus dan premis minor negatif tidak dapat ditarik satu simpulan.
2.    Silogisme Hipotesis
          Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Menurut Parera (1991: 131) Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi premis mayor bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika … konklusi tertentu itu terjadi, maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi. Premis minor menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotesis:
1.    Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2.    Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3.    Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul. Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
4.    Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah. Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
v Kaedah- kaedah Silogisme Hipotesis
                 Mengambil konklusi dari silogisme hipotesis jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini adalah menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1. Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2. Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3. Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4. Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana
Contoh :
a.    Premis Mayor: Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal
Premis Minor: Hujan tidak turun
Konklusi : Sebab itu panen akan gagal.
b.  Premis Mayor : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Premis Minor : Air tidak ada.
Kesimpulan : Manusia akan kehausan.
3.    Silogisme Akternatif :
          Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain. Proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis minornya.
          Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif, seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus
Jadi, la bukan tidak lulus
Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Xsa di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi, di pasar
Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1. Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain.
2.  Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain.
v Kaedah-kaedah silogisme alternatif :
1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid
2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a.  Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar)
Contoh :      Rizki menjadi guru atau pelaut.
        la adalah guru.
        Jadi bukan pelaut
        Rizki menjadi guru atau pelaut.
        la adalah pelaut.
        Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu alterna konklusinya tidak sah (salah)
Contoh :      Penjahat itu lari ke Surabaya atau ke Yogya.
        Ternyata tidak lari ke Yogya.
        Jadi ia lari ke Surabaya. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
        Rifki menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang)


Contoh :
Premis Mayor : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Premis Minor : Nenek Sumi berada di Bandung.
Kesimpulan : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
4.    Entimen
          Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.
          Entimen atau Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya pikiran adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem, penghilangan bagian dari argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas, istilah "enthymeme" kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.
          Menurut Aristoteles yang ditulis dalam Retorika, sebuah "retorik silogisme" adalah bertujuan untuk pembujukan yang berdasarkan kemungkinan komunikan berpendapat sedangkan teknik bertujuan untuk pada demonstrasi. Kata lainnya, entimem merupakan silogisme yang diperpendek.
Contoh :
Rumus Entimen:
PU : Semua A = B : Pegawai yang baik tidak pernah datang terlambat.
PK : Nyoman pegawai yang baik.
S : Nyoman tidak pernah datang terlambat
Entimen : Nyoman tidak pernah datang terlambat karena ia pegawai yang baik
v  Beberapa ciri utama dari penalaran deduktif, yaitu :
1.  Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar
2. Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis.



5.    Salah Nalar
            Salah nalar (fallacy) ialah gagasan, pikiran atau simpulan yang keliru atau sesat. Salah nalar terjadi karena kita tidak mengikuti tata cara pemikiran dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu akan macam salah nalar, yaitu :


1.        Deduksi yang salah
               Salah nalar akibat deduksi yang salah amat sering dilakukan orang. Hal ini terjadi akibat simpulan simpulan yang salah dalam silogisme yang berpremis salah atau yang premisnya tidak 
Misalnya : Pengiriman manusia ke bulan hanyalah penghamburan. (premisnya : semua eksperimen ke angkasa luar hanyalah penghamburan)
2.   Generalisasi yang terlalu luas
               Salah nalar ini terjadi karena jumlah premis yang terbatas tidak memadai. Harus dicatat bahwa kadang-kadang premis yang terbatas mengizinkan generalisasi yang sahih.
Misalnya :   Orang Indonesia malas tetapi ramah. ( Orang Indonesia ada yang malas ada juga yang ramah).
3.    Pemikiran “atau ini, atau itu”
Misalnya : Petani harus bersekolah supaya terampil. (Apakah untuk menjadi terampil kita selalu harus bersekolah? )
4.    Salah nalar atas penyebabnya
               Generalisasi induktif sering disusun berdasarkan pengamatan sebab dan akibat, tetapi kita kadang-kadang tidak menilai dengan tepat sebab suatu peristiwa atau hasil kejadian. Khususnya dalam hal yang menyangkut manusia, penentuan sebab dan akibat sifatnya sulit. Salah nalar atas penyebab yang lazim terjadi ialah salah nalar yang disebut post hoc dan ergo propter hoc (sesudah itu dan maka karena itu).
Misalnya :     Swie King menjadi juara karena doa kita. (Lawan Swie King tentu juga didoakan oleh para pendukungnya).
5.    Analogi yang salah
               Analogi adalah usaha perbandingan dan merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan penalaran. Namun, analogi tidak membuktikan apa-apadan analogi yang salah dapat menyesatkan karena logikanya salah.
Misalnya :     Rektor harus memimpin unuversitas seperti jendral memimpin divisi. (Universitas itu bukan tentara dengan disiplin tentara).
6.    Penyimpangan masalah
               Salah nalar disini terjadi jika argumentasi tidak mengenai pokok, atau jika kita menukar pokok masalah dengan pokok masalah yang lain, ataupun jika kita menyimpang dari garis masalah.
Misalnya :     Program kelurga berencana tidak perlu karena tanah di Kalimantan masih kosong. (Manusia tidak bisa hidup dengan hanya memilikitanah).
7.    Pembenaran masalah lewat pokok sampingan
               Salah nalar disini muncul jika argumentasi menggunakan pokok yang tidak langsung berkaitan, untuk membenarkan pendiriannya. Misalnya orang merasa kesalahannya dapat dibenarkan karena lawannya juga berbuat salah.
Misalnya :     Saya boleh berkorupsi karena orang lain berkorupsi juga. (Korupsi dihalalkan karena banyaknay korupsi dimana-mana).
8.    Argumentasi ad hominem
               Salah nalar ini terjadi jika kita dalam argumentasi melawan orangnya dan bukan persoalannya. Khususnya dibidang politik, argumentasi jenis ini banyak dipakai.
Misalnya : Ia tidak mungkin seorang pemimpin yang baik karena kekayaannya berlimpah. (Yang dipersoalkan bukanlah kepemimpinannya).
9.    Imbauan pada keahlian yang disangsikan
               Dalam pembahasan masalah, orang sering mengandalkan wibawa kalangan ahli untuk memperkuat argumentasinya. Mengutip pendapat seorang ahli sangat berguna walaupun kutipan itu tidak dapat membuktikan secara mutlak kebenaran pokok masalah. Misalnya, kita mengutip pendapat bintang film tentang pengembangan demokrasi.
10.  Non sequitur
               Dalam argumentasi, salah nalar ini mengambil simpulan berdasarkan premis yang tidak, atau hampir tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
Misalnya :     Partai Rakyat Madani paling banyak cendekiawannya; karena itu usul-usulnya paling bermutu. (Tidak ada korelasi antara kecendekiaan dan kepandaian merumuskan usul).
2.4         Prinsip-Prinsip Penalaran

                   Istilah “prinsip” sering diartikan dengan “kaidah” atau “hukum”, adapun yang dimaksudkan adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal, yaitu kebenarannya tidak terbatas oleh ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja dapat digunakan.
         Suatu prinsip, jika tidak membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas dengan sendirinya, karena terlalu sederhana, maka prinsip itu disebut dengan “aksioma” atau “prinsip dasar”. Dengan demikian aksioma atau prinsip dasar dapat didefinisikan: suatu pernyataan mengandung kebenaran universal yang kebenarannya itu sudah terbukti dengan sendirinya, atau dirumuskan juga, suatu hal yang diterimanya sebagai kenyataan yang bersifat universal. Sebagai contoh misalnya salah satu aksioma Euklidus (seorang tokoh Geometrika Iskandariah sekitar tahun 300 SM) : “Suatu keseluruhan lebih besar daripada sebagian”. Pernyataan ini jelas dengan sendirinya, lansung dapat dimengerti tidak perlu membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.
Aksioma atau prinsip dasar, setiap ilmu pengetahuan berbeda-beda, namun demikian ada juga suatu aksioma dari suatu ilmu digunakan juga sebagai aksioma bagi ilmu yang lain. Demikian juga prinsip dalam logika yang akan diuraikan ada kemungkinan digunakan oleh ilmu lain. Prinsip dasar dalam logika sering disebut dengan “prinsip penalaran”, dan ada juga yang menyebutnya dengan “prinsip-prinsip pemikiran”. Adapun penggunaannya lansung berhubungan dengan menetapkan pernyataan. Oleh karena itu sebenarnya tepat jika dikatakan “prinsip dasar pernyataan”.
Prinsip dasar pernyataan ini hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan pertama-kali adalah Aristoteles (384-322), adapun prinsip kedua mengalami penyempurnaan dalam menyatakan dan tanpa merobah makna yang dimaksudkannya, yaitu : prinsip identitas, prinsip non kontradiksi, dan prinsip eksklusi tertii. Ketiga prinsip ini diuraikan secara terperinci sebagai berikut :
1.        Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium identitatis (law of identity), merupakan dasar dari semua penalaran, sifatnya langsung analitis dan jelas dengan sendirinya, tidak membutuhkan pembuktian. Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama halnya sendiri”, dengan kata lain : “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”. Secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p <=> p)    dibaca :            p adalah identik
                                    P itu sendiri.
                    Sesuatu x yang disebut sebagai p adalah identik dengan p itu sendiri
Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu benda adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Dan selanjutnya dalam suatu perbincangan, jika sesuatu hal diartikan sesuatu p tertentu maka selama perbincagan itu masih berlangsung tidak boleh diartikan selain p, dalam arti harus tetap sama dengan arti yang diberikan semula. Atau dengan rumuan lain, pengakuan bahwa benda ini adalah benda ini bukan benda lain, dan bahwa benda itu adalah benda itu bukan benda yang lain.
2.        Prinsip non Kontradiksi 
Prinsip ini dalam istilah latin ditulis principium contradictionis (law of contrediction), yakni prinsip kontradiksi. Penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, karena yang dimasudkan adalah tidak adanya kontradiksi dalam suatu pernyataan, Prinsip non kontradiksi berbunyi : sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain : ‘sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”. Secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
- (p ˄ -p) dibaca : tidaklah demikian halnya bahwa p dan non p bersamaan.
                    Sesuatu x jika merupakan anggota p jelaslah tidak mungkin sekaligus anggota non p. Yang dimaksudkan dengan prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin ada pada suatu benda dalam waktu dan tempat yang sama. Kita misalkan suatu pernyataan : badan benda x ini hidup dan tidak hidup. Kedua term yang sebagai sifat untuk badan benda x itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam saat yang sama, walaupun benda x itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dan pada saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya bersamaan waktu.
3.        Prinsip eksklusi tertii :
Prinsip ini dalam istilah Latin ialah principium exclusi tertii (law of excluded middle), yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi tertii berbunyi : “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah” dengan kata lain : sesuatu x mestilah “p” atau “non p” sekaligus, atau juga “non p” dan “non-non p” bersamaan, hal ini tidak mungkin, berdasarkan prinsip non kontradiksi. Prinsip ini secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p V –p)                  dibaca ; sesuatu mestilah p atau non p.
                    Sesuatu x hanya sebagai anggota p atau anggota non p.
Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p atau non p. Atau dengan kata lain bahwa salah satu dari dua sifat yang berlawanan penuh mestilah benar bagi salah satu dan tidak benar bagi yang lain, tidak mungkin keduanya benar atau tidak mungkin keduanya salah, misal :benda hidup x ini manusia atau bukan manusia. Jika dinyatakan sebagai manusia dinilai benar, berarti sesuai dengan kenyataan, maka bukan manusia adalah salah, karena jelas tidak sesuai dengan kenyataannya, atau sebaliknya, dinyatakan sebagai manusia dinilai salah, maka bukan manusia adalah benar, tidak ada kemungkinan ketiga, yaitu keduanya benar atau keduanya salah pada satu benda.
Disamping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, seorang filsuf Jerman Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu :
4.        Prinsip cukup alasan
Prinsip ini dalam istilah Latin disebut dengan principium rationis sufficientis (law of sufficient reason), yang berbunyi : “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain : “Adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”, misal : jika suatu benda jatuh ke tanah, alasannya ialah karena adanya daya tarik bumi, sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. Prinsip cukup alasan ini dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, artinya tetap sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi suatu perubahan, maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab perubahan itu.

2.5     Penyusunan Definisi
Definisi juga merupakan unsur atau bagian dariapada ilmu pengetahuan yang merumuskan dengan singkat dan tepat mengenai objek atau masalah. Definisi sangat penting bagi seseorang yang menginginkan sanggup berfikir dengan baik, membuat definsi terlebih dahulu bukanlah hal memperpanjang persoalan tetapi justru membuktikan pendidikan seseorang bahwa dia tahu kerangkan masalahnya. Definisi berasal dari kata Latin “definire” yang berarti menandai batas-batas pada sesuatu, menentukan batas, memberi ketentuan atau batasan arti, jadi “definisi” dapat diartikan sebagai penjelasan apa yang diaksudkan dengan sesuatu term, atau dengan kata lain definsi ialah sebuah pernyataan yang memuat penjelasan tentang arti suatu term.
Pernyataan yang memuat arti penjelasan ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pangkal disebut dengan definiendum yang berisi istilah yang harus diberi penjelasan, dan bagian pembatas disebut dengan definiens yang berisi uraian mengenai arti dari bagian pangkal. Misal definisi tentang “manusia”, manusia adalah mahluk yang berakal budi. Istilah atau kata manusia disebut definiendum, sedang keterangan mahluk yang berakal budi disebut definiens.
a.  Macam-macam Definisi
Definisi ini banyak sekali macam-macamnya, yang disesuailan dengan pelbagai langkah, lingkupan, sifat, dan tujuannya. Secara garis besar definisi dibedakan menjadi tiga macam, yakni definisi nominalis, definisi realis, dan definisi praktis.
a.a. Definisi Nominalis
Definisi nominalis ialah menjelaskan sebuah kata dengan kata lain yang lebih umum dimengerti. Jadi sekedar menjealskan kata sebagai tanda, bukan menjalaskan hal yang ditandai, misal : nirwana adalah sorga. Definisi nominalis terutama dipakai pada permulaan sesuatu pembicaraan, diskusi, perdebatan , dengan maksud menunjukkan apa yang menjadi poko pembicaraan, diskusi, peredebatan. Definisi nominalis ini ada enam macam :
1.  Definisi Sinonim, yakni penjelasan dengan memberikan persamaan kata atau memberikan penjelasan dengan kata yang lebih dimengerti, misal : kampus adalah lapangan, lahan adalah tanah, arca adalah patung, nirwana adalah sorga, memeraman adalah menyimpan buah-buahan yang belum masak supaya lekas masak. Definisi ini paling singkat dan yang digunakan di dalam kamus.
2.  Definisi simbolis, yakni penjelasan dengan memberikan persamaan pernyataan berbentuk simbol-simbol. Definisi ini digunakan dalam bidang matematika termasuk juga logika untuk memberi penjelasan secara simbolis, misal :
(P → Q) ↔ (―P V Q)
(A Ϲ B) ↔ Ax (x  A → x  B)
Dalam contoh pertama antara bagian pangkal dan bagian pembatas sama nilainya, sedang dalam contoh kedua bagian pembatasnya menguraikan makna secara simbolis dari bagian pangkal.
3.  Definisi etimologis, yakni penjelasan dengan memberika asal-usulnya kata, misal : demokrasi dari asal kata “demos” berarti rakyat, “kratos / kratein” berarti kekuasaan / berkuasa, jadi demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau rakyat yang berkuasa.. Contoh lain misal : filsafat adalah cinta kebijaksanaan, metamorphose adalah perubahan bentuk.
4.  Definisi semantis, yakni penjelasan tanda dengan suatu arti yang telah terkenal, misal : tanda
berarti : maka atau jadi.
=>      berarti : jika ......... maka .........
             <=>    berarti : bila dan hanya bila
5.  Definisi stipulatif, yakni penjelasan dengan cara pemberian nama atas dasar kesepakatan bersama, misal : planet tertentu disebut “mars”. Definisi seperti ini banyak digunakan dalam lapangan ilmu pengetahuan, terutama dalam penemuan hal-hal baru, misal pemberian nama lembah-lembah yang ada di bulan, pemberian nama tumbuh-tumbuhan baru hasil perkembangannya.
6.  Definisi denotatif, yakni penjelasan term dengan cara menunjukkan atau memberikan contoh suatu benda atau hal yang termasuk dalam cakupan term, misal : tanaman adalah seperti jagung, padi, kedelai, dan sebangsanya. Definisi seperti ini ada dua macam yakni :
v  Definisi ostensif, yakni memberi batasan sesuatu dengan memberikan contoh, misalnya mendefinisikan apakah itu batu  kerikil, dengan mengambil batu kerikil dan kemudian berkata “inilah batu kerikil”.
v  Definisi enumeratif, yakni memberi batasan sesuatu term dengan memberikan perincian satu demi satu secara lengkap mengenai hal-hal yang termasuk dalam cakupan term tersebut, misal : Propinsi di Indonesia adalah jawa tengah, Daerah Istimewa Yogjakarta, jawa barat, dan seterusnya sampai terakhir Timor-Timur.
          Definisi denotatif ini lebih khusus serta lebih konkrit berguna dalam corak pemberitaan elementer, namun dalam hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan serta uraian yang tehnis definisi ini kurang berguna.
          Dalam membuat definisi nominalis ada tiga syarat yang perlu diperthatikan ialah : (1) Apabila sesuatu kata hanya mempunyai sesuatu arti tertentu, hal ini harus selalu dipegang. Juga kata-kata yang sangat biasa diketahui umum, hendaknya dipakai juga menurut arti dan pengertiannya yang sangat biasa. (2) Jangan menggunakan kata untuk mendefinisikan jika tidak tahu artinya secara tepat dan terumus jelas. Bilamana muncul keragu-raguan mengenai sesuatu term, harus diberi terlebih dahulu definisi dengan telitid dan hati-hati. (3) Apabila arti dan pengertian sesuatu term menjadi suatu objek pembicaraan, definisi nominalis atau definisi taraf pertamanya harus sedemikian rupa sehingga dapat secara tepat diakui oleh kedua pihak yang berdebat.
                                     
a.b  Definisi Realis
               Definisi Realis ialah penjelasan tentang hal yang ditandai oleh sesuatu term. Jadi bukan sekedar menjelaskan term, tetapi menjelaskan isi yang dikandung oleh term. Definisi realis banyak digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan serta hal-hal yang bersifat tehnis. Definisi realis ini ada dua macam:
1.  Definisi essensial, yakni penjelasan dengan cara menguraikan bagian-bagian yang menyusun sesuatu hal. Bagian-bagian ini antara satu dengan yang lain dapat dibedakan secara nyata atau hanya beda dalam akal pikiran. Oleh karena itu definisi essensial dapat dibedakan antara definisi analitis dan definisi konotatif.
v  Definisi analitis, yakni menunjukkan bagian-bagian sesuatu benda yang mewujudkan essensinya. Definisi ini disebut juga definisi essensial fisik, karena dengan cara analisa fisik. Misal “manusia” dapat didefinisikan : suatu substansi yang terdiri badan dan jiwa. Air adalah H2O.
v  Definisi konotatif, yakni menunjukkan isi dari suatu term yang terdiri dari genus dan diferensia. Definisi ini disebut juga definisi essensial metafisik, memberikan jawaban yang terdasar dengan menunjukkan predikabel substansinya, misal : manusia adalah hewan yang berakal, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa. Bentuk definisi semacam ini adalah sangat ideal, tetapi sayang tidak semua hal dapat didefinisikan semacam ini. Definisi konotatif dicapai dengan melalui tiga langkah :
v Pertama, membandingkan hal yang hendak didefinisikan dengan semua hal-hal yang lain.
v Kemudian, menunjukkan jenis atau golongan yang memuat hal tadi.
v Akhirnya, menunjukkan ciri-ciri yang memperdakan hal tadi dari semua hal-hal lain yang termasuk golongan sama.
2.  Definisi deskriptif, yakni penjelasan dengan cara menunjukkan sifat-sifat yang dimiliki oleh hal yang didefinisikan. Sifat-sifat ini khusus pada halnya yang dapat membedakan hal-hal lain yang terdapat dalam golongan yang sama. Definisi ini dibedakan antara definisi aksidental dan definisi kausal.
v  Definisi aksidental, penjelasan dengan cara menunjukkan jenis dari halnya dengan sifat-sifat khusus yang menyertai hal tersebut, atau dengan rumusan lain, yakni penjelasan yang disusun dari genus dan propium, misal : manusia adalah hewan yang berpolitik, manusia adalah hewan yang menggunakan simbol-simbol, manusia adalah mahluk sosial, bangsa adalah sekelompok manusia yang pada umumnya memiliki watak-watak sosial tertentu.
v  Definisi kausal, penjelasan dengan cara menyatakan bagaimana sesuatu hal terjadi atau terwujud. Hal ini berarti juga memaparkan asal-mula atau perkembangan dari hal-hal yang ditunjuk oleh suatu term. Definisi ini disebut juga definisi genetik, misal : awan adalah uap air yang terkumpul di udara karena penyinaran laut oleh matahari, murtad adalah orang yang berpindah dari sesuatu agama ke agama lain, jam adalah suatu benda dengan upaya untuk menunjukkan waktu.

a.c.  Definisi Praktis
               Definisi praktis ialah penjelasan tentang hal sesuatu ditinjau dari segi penggunaan dan tujuannya yang sederhana. Definisi ini merupakan gabungan antara definisi nominalis dan definisi realis, namun tidak dapat dimasukkan dalam salah satu diantara keduanya, misal : filsafat adalah berfikir ilmiah mencari kebenaran hakiki. Definisi praktis ini ada tiga macam :
1.  Definisi oprasional, yakni penjelasan suatu term dengan cara menegaskan langkah-langkah pengujian khusus yang harus dilaksanakan atau dengan metode pengukuran serta menunjukkan bagaimana hasil yang dapat diamati, ini ada dua macam :
v  Kualitatif : berdasarkan isi dan kekuatan, misal : magnit adalah logam yang dapat menarik gugusan besi, emas adalah logam jika di uji secara fisis dan kimiawi ternyata mengandung unsur yang bernilai.
v  Kuantitatif : berdasarkan banyaknya, misal : panjang adalah jumlah kali ukuran standard memenuhi jarak.
2.  Definisi persuasip, yakni penjelasan dengan cara merumuskan sesuatu penyataan yang dapat mempengaruhi orang lain, misal : lux adalah sabun bintang film, tepat waktu adalah keutamaan dari orang-orang modern, sosialisme adalah demokrasi sosial ekonomi, kecermatan adalah kebajikan orang-orang terpelajar. Definisi ini kelihatannya menjelaskan arti dari sesuatu kata atau istilah, tetapi sesungguhnya secara tidak langsung menyarankan kepada pihak lain supaya menyetujui atau atau menolak sesuatu hal. Dengan demikian definisi ini pada hakekatnya merupakan alat untuk membujuk atau tehnik untuk menganjurkan dilakukannya perbuatan tertentu atau dapat juga untuk membangkitkan emosi seseorang.
3.  Definisi fungsional, yakni penjelasan sesuatu berdasarkan guna atau tujuan, misal : negara adalah suatu persekutuan besar yang bertujuan kesejahteraan bersama bersifat pragmatis, bahasa adalah pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia, filsafat adalah berfikir ilmiah mencari kebenaran.
b.  Syarat-syarat Definisi
Dalam merumuskan definisi ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan supaya definisi yang dirumuskan itu betul-betul mengungkapkan pengertian yang didefinisikan secara jelas dan mudah dimengerti. Syarat-syarat yang akan dikumukakan di sini merupakan syarat secara umum berlaku untuk semua definisi terutama sekali definisi realis, disamping juga ada syarat khusus untuk definisi nominalis.
    Syarat-syarat definisi secara umum dan sederhana ada lima syarat, namun ada juga yang merumuskan lebih dari lima, yang sebenarnya hanya merupakan penjelasan berikutnya. Lima syarat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
1.  Sebuah definisi harus menyatakan ciri-ciri hakiki dari apa yang didefinisikan, yakni menunjukkan pengertian umum yang meliputinya beserta ciri pembedanya yang penting. Syarat ini penting dalam definisi ilmiah, sebagaimana untuk mendefinisikan tentang hewan, tumbuh-tumbuhan, organisme. Misal definisi kuda adalah eguus caballus, eguus adalah himpunan umum (genus) yang meliputi kuda, dan caballus adalah ciri pembeda (diferensia) yang membedakan kuda dari keledai, zebra, dan lain-lain anggota dari golongan yang sama. Contoh lain, hewan adalah organisme berindera, organisme merupakan hakekat zat dari hewan, sedang berindera merupakan hakekat sifat dari hewan.
2.  Sebuah definisi harus merupakan suatu kesetaraan arti dengan hal yang didefinisikan, maksudnya tidak terlampau luas dan tidak terlampau sempit. Syarat ini melahirkan dua anak- syarat :
v             Definisi tidak lebih luas dari yang didefinisikan, oleh karena itu harus mengeluarkan setiap yang tidak termasuk ke dalam lingkungan yang didefinisikan, atau eksklusif. Mendefinisikan sebuah meja sebagai “perabot rumah tangga” adalah terlampau luas.
v Definisi tidak lebih sempit dari yang didefinisikan, oleh karena itu harus menarik ke dalam lingkungan pengertian setiap diri yang termasuk didefinisikan, atau inklusif. Mendefinisikan kursi sebagai “barang yang sekarang diduduki” adalah terlampau sempit.
3.  Sebuah definisi harus menghindarkan pernyataan yang memuat term yang didefinisikan, artinya definisi tidak boleh berputar-putar memuat secara langsung atau tidak langsung subjek yang didefinisikan. Syarat ini seringkali dilanggar dan tidak diketahui, karena definisi tersebut dinyatakan dalam kata-kata yang ditinjau secara etimologis seasal dengan istilah-istilah yang didefinisikan, Misal : keracunan adalah hasil akibat minum racun, obat tidur adalah bahan yang mengandung sifat-sifat yang dapat menidurkan, pengetahuan adalah hal-hal yang diketahui dalam ingatan, hukum waris adalah hukum yang mengatur harta warisan.
4.  Sebuah definisi sedapat mungkin harus dinyatakan dalam bentuk rumusan yang positif, yakni tidak boleh dinyatakan secara negatif jika dapat dinyatakan dengan kata-kata yang positif, karena membuat definisi ialah untuk mengatakan apakah barang sesuatu, dan bukannya untuk mengatakan bukan apakah barang sesuatu itu.Tetapi memang benar bahwa dalam banyak hal jika mempunyai pengertian yang jelas tetantang bukan apakah barang sesuatu itu, maka dapat lebih mudah menangkap ciri-cirinya yang positif. Contoh pelanggran terhadap syarat ini ialah : kebebasan akademis ialah tidak dipengaruhi pembatasan-pembatasan dalam berbicara dan menulis, dinyatakan kaya apabila orang itu tidak miskin. Syarat ini perlu mendapatkan perhatian yang istimewa, karena banyak hal yang hanya dapat didefinisikan dengan mengandung pengertian negatif, misal : bujangan adalah lelaki dewasa yang belum kamin, perawan adalah wanita dewasa yang belum kawin.
5.  Sebuah definisi harus dinyatakan secara singkat dan jelas terlepas dari rumusan yang kabur atau bahasa kiasan, karena maksud membuat definisi ialah memberi penjelasan serta menghilangkan perwayuhanarti (makna ganda) maka dengan dipakianya istilah-istilah yang kabur dapat menghalangi maksud tersebut. Misalnya : alumunium adalah suatu jenis logam tertentu yang bercahaya. Contoh lain definisi yang dibuat oleh Herbert Spencer tentang “evolusi”, meskipun tidak niscaya kurang tepat, namun karena dalam membicarakan bahannya secara abstrak, maka akibatnya definisi yang diajukan juga agak kabur, yakni : “evolusi” adalah integrasi antara materi dengan lenyapnya gerakan yang bertepatan waktunya, pada waktu mana materi beralih dari homogenitas yang tidak tertentu serta tidak berhubungan menjadi heterogenitas yang tertentu serta berhubungan, dan pada waktu mana gerakan yang tersisa mengalami transformasi yang pararel.



BAB III
KESIMPULAN

3.1         Kesimpulan

            Logika artinya bernalar; penalaran (reasoning) adalah proses mengambil simpulan (conclusion) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence) yang ada. Secara umum ada dua jalan untuk mengambil simpulan dalam penalaran, yakni lewat penalaran induktif dan penalaran deduktif. Deduktif dan induktif berkaitan dengan logika atau penalaran. Cara menarik simpulan bisa dilakukan dengan dua cara, yakni penarikan simpulan secara langsung dan penarikan simpulan secara tidak langsung. Salah nalar (fallacy) ialah gagasan, perkiraan atau simpulan yang keliru atau sesat. Salah nalar terjadi karena kita tidakmengikuti tata carapemikiran dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu membantu kita menemukan logika yang tidak masuk akal dalam tulisan atau karangan.



DAFTAR PUSTAKA

http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/unsur-unsur-penalaran.html
http://ilhamkons.wordpress.com/2011/12/30/penalaran/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar