BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hak asasi manusia (HAM) merupakan
hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat
pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia.
Dikatakan ‘universal’ karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari
kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis
kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan
spiritualitasnya. Sementara itu dikatakan ‘melekat’ atau ‘inheren’ karena
hak-hak itu dimiliki sesiapapun yang manusia berkat kodrat kelahirannya sebagai
manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun.
Karena dikatakan ‘melekat’ itu pulalah maka pada dasarnya hak-hak ini tidak
sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.
Melanggar
HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) di Republik yang telah 63 tahun merdeka ini ternyata masih
marak di depan mata. Kasus Trisakti tahun 1998 yang belum tuntas hingga kini,
kasus Lumpur Lapindo yang menyengsarakan ribuan rakyat tak berdosa masih
berlarut-larut, penyerobotan lahan warga oleh aparat militer, perilaku brutal
oknum aparat kepolisian yang memasuki kampus UNAS tahun 2008, dan sederetan
kasus lainnya, menandakan masih sangat buruknya penegakkan HAM di Indonesia.
Kasus terburuk yaitu pembunuhan terencana Munir, seorang aktivis sejati pejuang
HAM di Indonesia yang diakui secara internasional, telah mencoreng nama
Indonesia di mata dunia.
` Iklim penegakan HAM dan Rule of
Law di Indonesia setidaknya semakin baik dalam 10 tahun terakhir (era
reformasi). Yang harus diingat bahwa penegakkan HAM dan Rule of Law akan
menjadi „PR‟ bagi setiap pemerintahan yang berkuasa, terlebih pemilu 2014 sudah
semakin dekat.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana kondisi HAM dan Rule of Law di
Indonesia?
2. Apakah kondisi HAM dan Rule of Law da di
Indonesia sudah ideal ?
1.3 Kerangka Berfikir
Dalam
pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif, dimana pengertian
metode deskriptif adalah menentukan masalah/memecahkan masalah yang terjadi
pada waktu sekarang.
1.4 Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui kondisi HAM dan Rule of Law di
Indonesia.
2. Mengetahui kondisi HAM dan Rule of Law yang ideal.
BAB II
Landasan Teori
2.1 Kondisi Realitas
Indonesia adalah sebuah negara
demokrasi. Indonesia merupakan negara yang sangat menghargai kebebasan. Juga,
Indonesia sangat menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). Ini bisa dilihat dengan
adanya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang No. 39 tahun 1999
tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang peradilan HAM yang cukup memadai. Ini
merupakan tonggak baru bagi sejarah HAM Indonesia dan merupakan kebanggaan
tersendiri bagi Indonesia, karena baru Indonesia dan Afrika Selatan yang
mempunyai undang undang peradilan HAM. Aplikasi dari undang undang ini adalah
sudah mulai adanya penegakan HAM yang lebih baik.
Di
Indonesia, hak-hak asasi manusia (HAM) dapat dibedakan menjadi enam.
Diantaranya sebagai berikut :
1. Hak-hak
asasi manusia (Personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan
memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
2. Hak-hak
asasi ekonomi (Property rights) yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli dan
menjual serta memanfaatkannya.
3. Hak-hak
asasi politik (Political rights), yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,
hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk
mendirikan partai politik.
4. Hak-hak asasi
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (right of
legal equality)
5. Hak-hak
asasi sosial dan kebudayaan (social and culture right). Misalnya hak untuk
memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan.
6 Hak asasi
untuk mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural
rights). Misalnya ; peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan,
dan peradilan.
Pancasila sebagai dasar negara
secara tersirat telah memuat hak asasi manusia sebagaimana yang diuraikan di
bawah ini :
1.
Sila
Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila
pertama mengandung pengertian antara lain pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan menjamin untuk melakukannya menurut keyakinan masing-masing. Pengabdian
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dapat dilaksanakan bila penghormatan terhadap hak
asasi manusia mendapat pengakuan berupa jaminan terhadap kemerdekaan beragama.
2.
Sila
kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila
kedua mengandung makna adanya sikap yang menghandaki terlaksananya nilai-nilai
kemanusiaan dalam arti pengakuan martabat manusia, hak asasi manusia dan
kemerdekaan manusia. Tiap-tiap orang diperlakukan secara pantas, tidak boleh
disiksa, dihina atau diperlakukan melampui batas kemanusiaan. Pengabdian manusia
sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Sebagai individu mempunyai hak
asasi yang dapat dinikmati dan dipertahankan terhadap pengakuan luar, sebagai
makhluk sosial penggunaan hak-hak asasi sosial. Artinya ada keseimbangan antara
individu dengan kepentingan umum.
3.
Sila
ketiga, yaitu Persatuan Indonesia
Persatuan
atau kebangsaan adalah sikap yang mengutamakan kepentingan bangsa di atas
kepentingan suku, golongan, ataupun partai. Kesdaran bangsa Indonesia timbul
karena keinginan untuk bersatu serta setiap insan Indonesia bebas menikmati hak
asasinya tanpa hambatan sedikitpun. Terbentuknya semangat kebersamaan jangan
sampai menimbulkan pertentangan dengan bangsa lain, tetapi hendaknya
menimbulkan rasa saling menghormati antar bangsa yang satu dengan yang lain.
4.
Sila
keempat, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan
Kedaulatan
berarti kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Negara dibentuk oleh rakyat,
dari rakyat dan untuk rakyat, kedaulatan itu disalurkan secara demokrasi
melalui perwakilan. Kedaulatan rakyat berarti berisi pengakuan harkat dan
martabat manusia, dan berarti juga menghormati serta menjunjung tinggi segala
hak manusia dan hak asasi yang melekat padanya.
5.
Sila
kelima, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sila
kelima mengandung makna keadilan yang memberi pertimbangan bahwa hak milik berfungsi
sosial. Tiap-tiap orang dapat menikmati hidup yang layak sebagai manusia
terhormat, dalam arti tidak ada kepincangan dimana ada golongan yang hidup
mewah, sedangkan golongan yang lain sangat melarat. Jadi, dalam sila kelima
dijamin hak untuk hidup layak, dijamin adanya hak milik, hak atas jaminan
sosial, dan hak atas pekerjaan dengan sistem pengupahan dan syarat kerja yang
baik dan layak, serta berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan.
Program penegakan hukum dan HAM
(PP Nomor 7 Tahun 2005), meliputi pemberantasan korupsi, antiterorisme, dan
pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu,
penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif, dan
konsisten.
Kegiatan-kegiatan pokok penegakan
HAM meliputi:
1. Penguatan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui pelaksanaan
Rencana Aksi Nasional Pembeantasan Korupsi Tahun 2004-2009.
2.
Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak
Asasi Manusia (RANHAM) dari tahun 2004-2009 sebagai gerakan nasional.
3. Peningkatan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana
terorisme dan penyalahgunaan narkotika serta obat berbahaya lainnya.
4. Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum
maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya mencegah dan memberantas korupsi.
5. Peningkatan efektivitas dan penguatan lembaga/institusi hukum
maupun lembaga yang fungsi dan tugasnya menegakkan hak asasi manusia.
6. Peningkatan upaya penghormatan persamaan terhadap setiap warga
negara di depan hukum melalui keteladanan kepala negara dan pimpinan lainnya
untuk mematuhi dan menaati hukum dan hak asasi manusia secara konsisten dan
konsekuen.
7. Penyelenggaraan audit regular atas seluruh kekayaan pejabat
pemerintah dan pejabat negara.
8. Peninjauan serta penyempurnaan berbagai konsep dasar dalam rangka
mewujudkan proses hukum yang lebih sederhana, cepat, tepat, dan dengan biaya
yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
9. Peningkatan berbagai kegiatan operasional penegakan hukum dan hak
asasi manusia dalam rangka menyelenggarakan ketertiban sosial agar dinamika
masyarakat dapat berjalan sewajarnya.
10. Pembenahan sistem manajemen
penanganan perkara yang menjamin akses publik, pengembangan sistem pengawasan
yang transparan dan akuntabel.
11. Pengembangan sistem manajemen kelembagaan hukum yang transparan.
12. Penyelamatan barang bukti akuntabilitas kinerja yang berupa
dokumen/arsip lembaga negara dan badan pemerintahan untuk mendukung penegakan
hukum dan HAM.
13. Peningkatan koordinasi dan kerja sama yang menjamin efektivitas
penegakan hukum dan HAM
14. Pembaharuan materi hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi.
15.
Peningkatan pengawasan terhadap lalu
lintas orang yang melakukan perjalanan baik ke luar maupun masuk ke wilayah
Indonesia.
16. Peningkatan fungsi intelijen agar aktivitas terorisme dapat dicegah
pada tahap yang sangat dini, serta meningkatkan berbagai operasi keamanan dan
ketertiban.
17. Peningkatan penanganan dan tindakan hukum
terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya melalui identifikasi dan
memutus jaringan peredarannya, meningkatkan penyidikan, penyelidikan,
penuntutan, serta menghukum para pengedarnya secara maksimal.
Namun bukan berarti adanya
penegakan HAM di Indonesia, membuat pandangan dunia terhadap Indonesia kian
membaik. Karena masih banyak masalah-masalah HAM di Indonesia yang belum di tuntaskan. Contohnya masalah
kekerasan di Aceh, di Ambon, Palu, dan Irian Jaya, tragedi Priok, kekerasan
pembantaian ”dukun santet” di Banyuwangi, Ciamis, dan berbagai daerah lain,
tragedi Mei di Jakarta, Solo, dan berbagai kota lain, tragedi Sabtu Kelabu, 27
Juli 1996, penangkapan yang salah tangkap, serta rentetan kekerasan kerusuhan
massa terekayasa di berbagai kota, yang bagaikan kisah bersambung sepanjang
tahun-tahun terakhir pemerintahan kedua: tragedi Trisakti, tragedy Semanggi,
kasus-kasus penghilangan warga negara secara paksa, pelanggaran HAM di
Timor-timor beberapa waktu yang lalu. Kasus yang juga mencuat hingga mata dunia
terbelalak yaitu pembunuhan aktivis sejati HAM di Indonesia, yaitu Munir.
Hingga kini, pembunuhan Munir masih dalam proses hukum, walaupun sangat sulit
diungkapkan, karena melibatkan oknum anggota Badan Intelejen di Indonesia.
Selain HAM Indonesia juga memiliki permasalahan dalam penegakkan hukum.
Karena Indonesia merupakan negara hukum yang selalu menjadikan hukum sebagai
panglima dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Cita-cita
reformasi untuk mendudukan hukum di tempat tertinggi (supremacy of law) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara hingga saat ini tak pernah terwujud. Bahkan
dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan.
Akan tetapi negara hukum Indonesia akan terbayar murah dan status negara
hukumnya terancam dengan melihat adanya praktik- praktik penegakan hukum
belakangan ini. Konsep the rule of law yang diterapkan oleh aparatur
hukum dari kepolisian hingga lembaga peradilan bahkan komisi dan satgas
sekalipun luput dari cita-cita penegakan hukum yang independen, imparsial, dan
bebas dari intervensi kekuasaan maupun politik. Kondisi tersebut terjadi
lantaran campur tangan politik (partai politik dan politisi) dalam aktivitas
penegakan hukum. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab hancurnya negara
hukum Indonesia yang kemungkinan akan terdegradasi oleh negara kekuasaan
sentralis (machstaat) jika tetap dipertahankan negara hukum pun
dipertanyakan. Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi
dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang statis dan kalaupun hukum
ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam
proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang
diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan
Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang
dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini.
Dampak yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik
dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik,
ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga
akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin
menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan
dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan
masyarakat.
Berikut ini beberapa faktor yang
menyebakan masalah dalam penegakan hukum di Indonesia:
1. Campur Tangan Politik
Kasus-kasus hukum di
Indonesia banyak yang terhambat karena adanya campur tangan politik didalamnya
Hal yang lumrah untuk dilontarkan karena kasus-kasus besar dan berdimensi
struktural saat ini setidaknya melibatkan partai politik penguasa negara ini.
ICW mencatat ada 10 kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat.
Penegakan hukum tidak secara independen, tentu tidak hanya karena masalah
sikap aparatur namun juga karena intervensi politik, yang keduanya bersinergi
secara simultan. Beberapa kasus extra ordinary crime yang mampir
di KPK mayoritas dipengaruhi oleh konfigurasi politik, misalnya
ditelantarkannya kasus Bank Century yang sampai saat ini tidak mendapatkan
kepastian hukum dan hanya mentah di DPR. Dalam hal tersebut jelas dan tentu
dimenangkan oleh partai-partai yang berkepentingan dengan keberadaan eksekutif
saat ini. Dalam kasus Bank Century berpotensi menyeret para pemilik kursi
eksekutif, seperti mundurnya Sri Mulyani dari Menteri Keuangan lantaran
terseret dalam kasus ini. Adapun kasus lain yang kini tengah mendapat
sorotan publik yang melibatkan mantan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin,
yakni terkait dugaan korupsi dalam program pembangunan wisma atlet SEA Games
dan tenaga kependidikan, Kemendiknas. Dalam kasus ini konon kader Partai Demokrat
tersebut telah menyumbang Rp 13 miliar ke Partai Demokrat, dan dalam
pengakuannya Nazaruddin diperintahkan untuk lari ke luar negeri oleh pimpinan
umum Partai Demokrat agar tidak terjamah oleh hukum. Meskipun belum bisa
dipastikan semua, pengakuan Nazaruddin di beberapa media massa adalah benar,
patut untuk diduga bahwa telah terjadi campur tangan politik dalam aktivitas
penegakan hukum di Indonesia. Dan masih ada beberapa kasus yang kemungkinan
melibatkan beberapa kader partai politik termasuk Andi Nurpati dari Demokrat
dalam kasus mafia pemilu, Agusrin Najamudin, Gubernur Lampung yang dalam
kasusnya divonis bebas oleh hakim Syarifudin Umar. Nunun Nurbaetie tersangka
suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI.
2. Peraturan perundangan yang lebih berpihak kepada
kepentingan penguasa dibandingkan kepentingan rakyat.
Hal ini dapat terlihat jelas terhadap
hukuman yang diberikan kepada para penguasa yang terjerat kasus korupsi hanya
diberikan hukuman yang ringan padahal mereka sangat merugikan Negara sedangkan
rakyat kecil yang melakukan kesalahan dikarenakan kemiskinan yang menjerat
mereka dihukum dengan berat tanpa adanya perikemanusiaan.
3. Rendahnya integritas moral, kredibilitas,
profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum dalam menegakan hukum.
Moral yang ada di beberapa aparat
penegak hukum di Indonesia saat ini bisa dikatakan sangat rendah. Mereka dapat
dengan mudahnya disuap oleh para tersangka agar mereka bisa terbebas atau
paling tidak mendapat hukuman yang rendah dari kasus hukum yang mereka hadapi.
Padahal para aparat ini telah disumpah saat ia memangkuh jabatannya sebagai
penegak hukum. Terjadi pelanggaran moral ini kerena kebutuhan ekonomi yang
terlalu berlebihan dibanding kebutuhan psikis yang seharusnya sama.
Hakikat manusia adalah makhluk budaya menyadari bahwa yang benar, baik dan
indah merupakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan
psikis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia. kebahagian jasmani
dan rohani tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan
harta kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai, dan serasi.
4. Kedewasaan Berpolitik.
Berbagai sikap yang diperlihatkan oleh
partai politik saat kadernya terkena kasus poltik sesungguhnya memperlihatkan
ketidak dewasaan para elit politik di Negara hukum ini. Sikap saling sandera
serta cenderung untuk mengadvokasi para kader termasuk ketidakmauan untuk
memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terkait dengan beberapa
kasus korupsi yang sedang berlangsung saat ini. sikap kooperatif dan
transparansi dalam penegak hukum dianak tirikan, sedangkan politik pencitraan
diutamakan agar tetap eksis di hadapan masyarakat.
Untuk mengurangi penyelewengan hukum
dan untuk menegakan hukum sesuai UUD 45 maka aparatur hukum sendiri sebagai
seorang penegak hukum harus memiliki motivasi yang muncul dari isi jabatan atau
pekerjaan yang mencakup faktor tanggung jawab. Tanggung jawab ini wajib
dimiliki oleh para penegak hukum haruslah taat terhadap hukum dan berpegang
teguh kepada UUD 45. Selain itu, untuk meminimalkan tindakan penyuapan
kepada penegak hukum, pemerintah seharusnya memberi kenaikan imbalan, pujian
atau promosi dll. Beberapa masalah penegakan hukum di Indonesia yang
terjadi belakangan ini, seharusnya dijadikan pembelajaran dan evaluasi diri
para penegak hukum di Indonesia.
2.2 Kondisi Ideal
Undang-undang
Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional Indonesia telah menyatakan diri
sebagai negara hukum, selain itu secara nyata pasal-pasal lainnya dalam UUD
1945 mendukung ciri-ciri Indonesia sebagai negara hukum. Pasal-pasal tersebut
meliputi :
1. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan : Negara
Indonesia adalah negara hukum.
2. Pasal 24 ayat (1) dinyatakan : Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
3. Pasal 27 ayat (1) dinyatakan : Segala warganegara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
4. Pasal 28 huruf a s/d i memuat
perlindungan atas HAM.
Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
berkaitan dnegan Rule of Law itu pun selanjutnya dijabarkan lagi dalam
undang-undang dan peraturan pelaksanaan lainnya yang secara nyata menjadikan
Indonesia sebagai negara hukum. Setidaknya, saat ini ada berbagai undang-undang
yang berkaitan dengan itu, seperti : UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang
Mahkamah Konstitusi, UU tentang Pemilu, UU tentang Parpol dan sebagainya.
Konsep Indonesia sebagai negara
hukum haruslah disusun dalam suatu sistem hukum yang saling mendukung dan
saling berkaitan dengan satu tujuan yaitu terpenuhinya negara hukum secara
hakiki. Sistem hukum nasional di dasarkan pada tata urutan tertib hukum (legal
order) yang diatur dalam ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan tersebut di atas dan
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia secara hirarkis
antara urutan peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan secara
material dengan peraturan yang ada di atasnya. Dengan konsep otonomi daerah
yang berlaku saat ini berbagai peraturan daerah baik yang ada di pemerintahan
propinsi, pemerintahan kabupaten, dan pemerintahan kota haruslah sesuai dan
sejalan dengan konsep negara hukum yang diatur dalam UUD 1945 dan UU lainnya.
Sedangkan
perlindungan HAM di Indonesia harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan, merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan baik dalam penerapan, pemantauan, maupun
dalam pelaksanaannya (Wirayuda, 2005). Hal ini sesuai dengan isi Piagam PBB
yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan 56 yang berisi bahwa upaya pemajuan dan
perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu konsep kerja sama internasional
yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan, dan hubungan
antarnegara serta hukum internasional yang berlaku.
Sesuai
dengan amanat konstitusi, Hak Asasi Manusia di Indonesia didasarkan pada
Konstitusi NKRI, yaitu:
1.
Pembukaan UUD 1945 (alinea 1)
‘...Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa....’ kutipan ini menegaskan hak atas
kemerdekaan atau kebebasan.
2. Pembukaan UUD 1945 (alinea 4)
‘....Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi............. maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara
Indonesia yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilam, serta dnegan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.’ Kutipan ini menegaskan landasan idiil pengakuan dan
jaminan Hak Asai Manusia Indonesia.
3.
Batang Tubuh UUD 1945
Pasal 27 sampai dengan pasal 34
UUD 1945 menegaskan Hak Asasi Manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya.
4. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia. berdasarkan ketetapan ini dirumuskan Undang-undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hak-hak Asasi Manusia yang terkandung
dalam ketetapan tersebut antara lain ; hak untuk hidup, hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, hak keadilan, hak keamanan, hak kesejahteraan,
kewajiban, perlindungan dan pemajuan.
2.3 Analisis
Iklim
penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Rule
of Law di Indonesia setidaknya semakin baik dalam 10 tahun
terakhir (era reformasi). Juga, Indonesia sangat menghargai Hak Asasi Manusia (HAM).
Hal ini terbukti dengan adanya : Pembukaan
UUD 1945 (alinea 1), Pancasila sila keempat, Batang Tubuh UUD 1945 (Pasal 27,
29, dan 30), UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 26/2000 tentang
Pengadilan HAM. Dan juga dibentuknya badan-badan penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Badan Peradilan yang terdiri
dari Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, dan Komnas HAM.
Meski
UU tentang HAM dan lembaga penegak hukum sudah dibuat, pada kenyataanya dalam
penerapannya belum berjalan dengan lancar. Masih banyak pelanggaran-pelanggaran
hukum dan HAM yang terjadi di Indonesia. Contohnya masalah
kekerasan di Aceh, di Ambon, Palu, dan Irian Jaya, tragedi Priok, kekerasan
pembantaian ”dukun santet” di Banyuwangi, Ciamis, dan berbagai daerah lain,
tragedi Mei di Jakarta, Solo, dan berbagai kota lain, tragedi Sabtu Kelabu, 27
Juli 1996, penangkapan yang salah tangkap, serta rentetan kekerasan kerusuhan
massa terekayasa di berbagai kota, yang bagaikan kisah bersambung sepanjang
tahun-tahun terakhir pemerintahan kedua: tragedi Trisakti, tragedy Semanggi,
kasus-kasus penghilangan warga negara secara paksa, pelanggaran HAM di
Timor-timor beberapa waktu yang lalu. Kasus yang juga mencuat hingga mata dunia
terbelalak yaitu pembunuhan aktivis sejati HAM di Indonesia, yaitu Munir.
Hingga kini, pembunuhan Munir masih dalam proses hukum, walaupun sangat sulit
diungkapkan, karena melibatkan oknum anggota Badan Intelejen di Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Marzuki Darusman, pelaksanaan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi bagian dari
sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau
persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi
warga negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.
Dengan masih banyaknya
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dapat diartikan bahwa penegakkan
hukum (Rule of Law) belum berjalan dengan baik dan masih terkendala dengan
kesadaran dan kesungguhan para penguasa serta pemahaman warga Negara akan
hakikat HAM. Mengingat bahwa tegaknya Rule of Law akan berdampak positif pada
pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM).
Untuk mengawal penegakan HAM di
Indonesia, diperlukan partisipasi masyarakat, baik secara pribadi maupun secara
institusi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM ), Lembaga Pendidikan, Media
dan Pers, dan lembaga-lembaga lainnya. Hal ini dirasakan sangat efektif dalam
membangun opini secara meluas akan pelanggaran HAM yang terjadi disekitar kita.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kondisi Rule
of Law dan HAM di Indonesia memang sudah mengalami kemajuan. Terbukti dengan
adanya Pembukaan UUD
1945 (alinea 1), Pancasila sila keempat, Batang
Tubuh UUD 1945 (Pasal 27, 29, dan
30), UU Nomor 39/1999 tentang HAM dan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Dan juga dibentuknya badan-badan penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , Badan Peradilan yang terdiri dari Mahkamah
Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Komnas HAM. Namun bukan berarti adanya lembaga penegak hukum, masalah HAM di Indonesia semuanya dapt terselasaikan dengan baik. Masih banyak
masalah-masalah HAM yang bahkan hingga saat ini belum terselesaikan. Salah
satunya adalah kasus yang juga mencuat hingga mata
dunia terbelalak yaitu pembunuhan aktivis sejati HAM di Indonesia, yaitu Munir.
Hingga kini, pembunuhan Munir masih dalam proses hukum, walaupun sangat sulit
diungkapkan, karena melibatkan oknum anggota Badan Intelejen di Indonesia.
2. Kondisi
Rule of Law dan HAM di Indonesia dapat dikatakan ideal, karena adanya UU
tentang HAM dan adanya lembaga penegak hukum. Namun jika di lihat dari
penerapannya Indonesia belum memiliki
kondisi yang ideal, karena masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia.
3.2 Saran
Sebagai makhluk sosial kita harus
mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Disamping itu kita
juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita
melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan
dinjak-injak oleh orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
courseware.politekniktelkom.ac.id
hehe :D
BalasHapusMakasih udah mau berkunjung :D